Sekilas Natuna:(DM) - Penduduk Kabupaten Natuna pada tahun 2012 berjumlah 76.305 jiwa, dan tercatat 19.039 rumah tangga. Dengan luas daratan 2.631 kilometer persegi, kepadatan penduduk Kabupaten Natuna tahun 2012 sebesar 38,13 jiwa per km2 atau dalam wilayah seluas 1 km2 terdapat penduduk sekitar 38 jiwa. Pulau-pulau di kawasan Kabupaten Natuna sangat kaya dengan berbagai objek wisata yang potensial, namun sayang sarana dan prasarana yang diperlukan untuk memperkenalkan pariwisata di daerah ini kepada para wisatawan belum cukup memadai. Mengingat Natuna memiliki banyak pantai yang menarik dan eksotis maka sebagian besar pengunjung wisata adalah wisatawan bahari/pantai. Pada tahun 2012 jumlah wisatawan mencapai sekitar 176.960 orang.
Natuna
saat ini banyak disebut dalam pemberitaan yang berhubungan dengan
kegiatan militer. Selain menjadi tuan rumah Latma Komodo 2014 juga
mengenai berbagai rencana pembangunan kekuatan militer di pulau
tersebut. Pulau terletak wilayah luar Indonesia dan berhadapan langsung
dengan LCS (Laut China Selatan) yang sedang dilanda konflik klaim yang
tumpang tindih dari berbagai negara, antara lain Malaysia, Pilipina dan
China. Bahkan dari peta 9 dash line China, ada kemungkinan
wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di utara Natuna ikut
termasuk wilayah yang diklaim oleh China.
Walau bisa dibilang termasuk lamban, namun keputusan pemerintah dan TNI untuk memperkuat kehadiran militer di Natuna
adalah keputusan yang sangat tepat yang patut diapresiasi. Kita harus
melihat contoh negara-negara lain yang saat ini sedang bersengketa
wilayah dengan China untuk dapat menilai betapa tingginya nilai Natuna
dalam konteks kedaulatan wilayah negara.
Kebanyakan
wilayah laut di daerah sengketa ini adalah coral dan karang, sebagian
malah terendam di bawah permukaan air laut. Tapi hal itu tidak
menghentikan upaya China untuk menancapkan klaim mereka. China
menempatkan tanda batas wilayah mereka di berbagai tempat yang
memungkinkan, bahkan memasang dudukan beton dan membangun pangkalan di
atas koral. China menyebutnya pangkalan bagi nelayan mereka, tapi
beberapa pihak yakin itu adalah bangunan militer atau setidaknya
pemerintah China menempatkan pasukan marinir untuk menjaganya. Bahkan di James Shoal sekitar 70 km Serawak, China menanamkan plat logam pada koral 20 meter di bawah permukaan air laut sebagai penanda batas wilayah mereka.
Memang tidak terdengar reaksi frontal dari Malaysia, namun tanpa berkonfrontasi langsung dengan China, Malaysia berencana membangun kesatuan Marinir dengan batuan dari USMC (United States Marine Corps).
Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Tun Hussein mengatakan tahun
lalu, bahwa Malaysia akan membangun kesatuan Marinir yang akan bertempat
di Bintulu, tidak jauh dari Wilayah yang disengketakan.
Pilipina adalah salah satu claimant
LCS yang paling lantang menentang klaim China. Hal ini cukup wajar,
mengingat klaim China yang didukung ancaman kekuatan militer ini bisa
memberikan kerugian ekonomi dan kedaulatan yang luar biasa bagi
Pilipina. Selain berbagai potensi migas, perikanan juga adalah salah
satu sektor ekonomi andalan Pilipina. Dan saat ini, nelayan “asing” dilarang masuk ke wilayah LCS
yang diklaim China sebagai wilayahnya. Membuat nelayan Pilipina
kehilangan mata pencaharian sementara nelayan China bebas melaut sampai
jauh ke Timur dan Selatan LCS. seakan belum cukup, China juga sudah
mulai merencanakan penerapan ADIZ di wilayah udara LCS tersebut.
Alasan
mengapa China begitu leluasa mencaplok wilayah Pilipina adalah karena
superioritas kekuatan militer mereka. Saat ini Pilipina melakukan
berbagai cara ‘melawan’ agresifitas China, mulai dari upaya memasang
tanda batas mereka sendiri, membawa sengketa wilayah ke PBB, melakukan
modernisasi militer, membangun pangkalan Marinir baru yang berdekatan dengan wilayah sengketa, mencari dukungan AS dan bahkan potensi mengadakan aliansi militer dengan Vietnam. Tapi apapun dilakukan, upaya itu sudah terlambat, karena secara de facto China lah yang saat ini mengontrol wilayah sengketa.
Kelihatannya
Malaysia, Pilipina dan juga Indonesia melupakan sejarah pahit Vietnam
yang kehilangan kontrol atas Kepulauan Paracel pada China sekitar 40
tahun yang lalu. Malaysia terlihat canggung dan terkaget-kaget dengan
bentuk ancaman yang mereka hadapi, Pilipina mengabaikan pembangunan
militer dan terlalu mengandalkan diri sebagai sekutu AS di kawasan dan
Indonesia lama terpuruk ekonomi dan sibuk dengan ancaman dalam negeri,
sebelum kemudian baru-baru ini saja ketika ancaman dari dalam mereda,
TNI mulai memperhatikan bentuk ancaman keamanan dari luar.
Dari negara-negara ini tampaknya Vietnam paling serius membangun kemampuan militernya. Diantara claimants,
kemampuan militer mereka yang saat ini paling bisa membuat China
berpikir ulang dan berhitung kembali sebelum bertindak semena-mena. Dan
hal ini tidak lepas dari pengalaman pahit Vietnam dalam berhadapan
dengan China dan pengalaman berharga dari perang Kepulauan Paracel.
Kepulauan Paracel
Pelajaran berharga dari sejarah Vietnam kehilangan kepulauan Paracel.
Pada tanggal 16 Januari 1974, Angkatan Laut Vietnam (RVN) menjumpai
kehadiran Angkatan Laut China (PLAN) di Kepulauan Paracel Barat yang
saat itu dibawah kontrol Vietnam Selatan. Selama dua hari berikutnya,
angkatan laut adu otot satu sama lain di sekitar kepulauan. Pertempuran
kemudian meletus dan semakin meningkat dengan datangnya overwhelming
bala bantuan pasukan Cina ke zona pertempuran, termasuk dukungan udara
dari Pulau Hainan dan kapal patroli rudal Hainan-class.
Pertempuran
Kepulauan Paracel tercatat dalam sejarah sejarah sebagai pertempuran
pertama dalam upaya untuk kontrol atas kepulauan di Laut Cina Selatan.
Pertempuran Kepulauan Paracel pada tahun 1974 memberikan pelajaran
penting, tidak saja bagi Vietnam, tapi bagi semua pihak yang mempunyai
kepentingan di LCS, termasuk juga Indonesia.
Tidak
ada perjanjian internasional dan regional yang mampu memberikan
perlindungan sempurna terhadap tindakan sepihak, termasuk ancaman atau
penggunaan kekerasan. Artinya, walau diplomasi didahulukan dan hubungan
sedang baik namun kekuatan militer tetap harus diperkuat dan disiagakan.
Seperti kutipan terkenal Carl von Clausewitz: “war is the continuation of politics by other means”, perang adalah kelanjutan/bentuk lain dari politik.
Tidak
ada kekuatan regional telah mengambil sikap tegas dan memihak di
sengketa LCS, tapi lebih ke fokus hanya pada kebebasan navigasi.
Artinya, meskipun AS atau Jepang memiliki alasan yang sah untuk
melakukan intervensi jika LCS terancam konflik bersenjata, namun
tindakan nyata tidak bisa dipastikan. Bahkan jika misalnya Komando
Pasifik AS suatu saat mendeteksi pergerakan mencurigakan militer China
di LCS, tapi mereka mungkin tidak dapat bereaksi tepat pada waktunya.
Bagi
negara-negara dengan kerjasama pertahanan atau aliansi militer
sekalipun bantuan mungkin datang terlambat. Opsi terbaik adalah
mengandalkan kekuatan sendiri. Dan bagi Indonesia yang merupakan negara
netral tanpa memiliki aliansi militer, kemandirian pertahanan ini
merupakan kebutuhan mutlak.
Ancaman
terbesar negara-negara Asia Tenggara yang berhadapan dengan LCS adalah
China. Dan walau ASEAN bersatu dalam aliansi militer, namun secara
kuantitatif tidak bisa menandingi kekuatan militer China. Karena itu
perlombaan senjata melawan China bukanlah opsi yang bisa dilakukan
negara2 di kawasan ini, bahkan termasuk juga Indonesia yang dari ukuran
jumlah penduduk dan ekonomi merupakan yang terbesar di antara negara
ASEAN. Namun tidak berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh
negara-negara ini dalam menghadapi ancaman kekuatan militer yang
superior.
Pertempuran Paracel
memberikan pelajaran akan kebutuhan tidak hanya mencegah musuh dari
memblokade akses laut, tapi juga kebutuhan untuk mengamankan akses
militer pada kepulauan terdepan yang terbuka dan rentan. Kemampuan
peringatan dini dan air/sea denial permanen pada lokasi-lokasi wilayah terluar hingga wilayah terluar ZEE diperlukan untuk tetap menjaga status quo.
Berbagai
negara dalam adu klaim di LCS berusaha dengan berbagai cara bahkan
membangun pulau buatan atau sekedar menancapkan bendera di atas koral,
jangan sampai kita kehilangan lagi kepulauan luar yang sangat berharga
dan merupakan batas untuk wilayah kedaulatan.
Control
China terhadap LCS diperkirakan akan meningkatkan keuntungan strategis
dan pada akhirnya daya tawar politik mereka, sementara Indonesia dari
dulu sudah memiliki potensi besar ini namun belum memanfaatkannya.
Ketika China sudah mulai dengan wacana menerapkan ADIZ di LCS,
Indonesia justru masih numpang pada Singapura karena mereka mereka yang
mengatur Air Traffic Services (ATS) lantaran Indonesia dinilai
belum mampu untuk mengatur penerbangan internasional yang sangat padat
di wilayah udara sekitar.
Penguasaan Kepulauan Riau hingga Natuna juga berdampak besar dalam strategi luas jika Malaysia yang ada dalam scenario.
Secara harfiah Kepulauan, wilayah perairan dan udara Indonesia di
Kepulauan Riau hingga Natuna memisahkan Federasi Malaysia antara
Semenanjung dan Malaysia Timur.
Lokasi Kepulauan Natuna sangat strategis untuk berbagai scenario di
masa depan. Natuna memang bukan satu-satunya wilayah depan Indonesia,
tapi dengan dijadikannya Kepulauan Natuna sebagai wajah baru strategi
kemanan Indonesia, mudah-mudahan hotspots baik perbatasan darat atau laut lainnya juga segera mendapat perhatian serius dari pemerintah dan TNI. (NYD)
0 komentar:
Post a Comment