Berita Pertahanan dan Keamanan, Industri Militer Indonesia dan Dunia, Wilayah Kedaulatan NKRI serta Militer Negara Sahabat

12 February 2015

Haru Biru HQ-9 Turkmenistan – Uzbekistan

6:37 PM Posted by Unknown No comments
image
BEIJING:(DM) - Sebuah laporan di majalah militer berbahasa Cina yang berbasis di Kanada, Kanwa Defense Review, menyatakan China akan menjual sistem rudal permukaan ke udara Hongqi-9 (HQ-9) ke Uzbekistan dan Turkmenistan dalam kesepakatan untuk menurunkan harga impor gas alam mereka ke China. Laporan itu mengatakan, China menandatangani kontrak dengan Uzbekistan dan Turkmenistan pada 2013, namun kontrak tidak diberikan.

Kejadian ini adalah peristiwa yang ironis. Sebelum runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, lima negara Asia Tengah dan Kaukasus, biasa menjual sistem senjata yang mereka produksi bersama dengan industri militer Uni Soviet, ke luar negeri, termasuk ke China.

Sebagai contoh, China membeli torpedo shkval VA-111 dari Kirgistan dan pesawat pengangkut Il-76MD dari Uzbekistan yang dikelola perusahaan negara Chkalov Tashkent Aircraft Production Corporation, sedangkan Azerbaijan merupakan basis produksi utama Sukhoi Su-25.


China akhirnya berhenti membeli sistem senjata dari negara-negara Asia Tengah setelah kualitas senjata mereka memudar karena kurangnya sumber daya, sementara komplek industri militer China terus tumbuh.
Kini, setelah kehilangan kemampuan untuk mengembangkan sistem senjata sendiri, semua lima negara Asia Tengah eks Soviet itu, mulai mengimpor persenjataan dari China.

Sistem pertahanan udara versi ekspor HQ-9 yang dikenal sebagai Fangdun (FD) -2000, masuk dinas militer China tahun 1997. Para analis percaya pengembangan telah dilakukan pada motor rudal yang dirancang Cina berdasarkan hardware S-300PMU Rusia dan bimbingan teknologi dari rudal Patriot Amerika.
China membeli 4-6 baterai S-300PMU (48 sampai 72 rudal) pada tahun 1991 dan tambahan 120 rudal pada tahun 1994, tiga tahun sebelum HQ-9 operasional.

Pada tahun 1993 Israel diduga mengalihkan rudal Patriot atau teknologi peluru kendalinya ke China, meskipun Israel membantah tuduhan itu. Menurut International Assessment berbasis di Amerika Serikat, sistem pertahanan udara HQ-9 / FD-2000 menggabungkan sistem guidance Rusia dan teknologi seeker AS dan kemungkinan dengan bantuan desain Israel.

Pada tahun saat HQ-9 mulai operasional, Kantor Naval Intelligence AS menyatakan bahwa “teknologi dari sistem Barat yang maju mungkin sudah dimasukkan ke HQ-9″.

SIstem pertahanan udara HQ-9 / FD-2000 dibangun oleh China Precision Machinery Impor dan Ekspor Corp (CPMIEC), terdiri dari baterai rudal, peluncur, radar, sensor, kendaraan, dan sistem pendukung. Menariknya, perusahaan CPMEIC telah dijatuhi sanksi oleh AS atas pelanggaran Nonproliferation Act untuk Iran, Korea Utara dan Suriah. Meski demikian perusahaan itu tetap eksis dan China bisa menjual rudal itu ke luar negeri.

HQ-9 / FD-2000 memiliki jangkauan 200 km hingga ketinggian 30 km dan rudalnya mampu mencegat senjata/rudal presisi serta UAV, helikopter dan pesawat tempur. HQ-9 / FD-2000, merupakan sistem rudal generasi ketiga medium-and-high altitude, medium-and-long range air-defense system yang mampu mengoperasikan pertahanan udara di segala cuaca yang membuat penampilan publik pertama di Africa Aerospace and Defense Exhibition in 2009.

HQ-9 versi ekspor / FD-2000 menyediakan kemampuan anti-siluman (extra anti-stealth capability) dengan memasukkan sensor YLC-20 pasif sebagai pilihan.

Sistem rudal China ini terbukti cukup memikat karena pada tahun 2013 anggota dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Turki memilih HQ-9 sebagai sistem rudal permukaan-ke-udara / FD-2000 mengalahkan SAM dari Eropa, Rusia dan AS, meskipun diskusi yang sedang berlangsung dengan sekutu NATO Turki tentang potensi pembelian tersebut.

Penjualan rudal ini adalah kemenangan politik bagi Beijing dan tonggak penting menuju tujuan industri pertahanan China menjadi eksportir terkemuka peralatan dan senjata high-end.

HQ-9 China

China, yang lama sebagai eksportir senjata ringan dan amunisi, kini siap menjadi vendor besar teknologi militer canggih, menawarkan peralatan militer “cukup baik” dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) melaporkan tahun lalu bahwa lima eksportir terbesar di 2009-13 adalah AS, diikuti oleh Rusia, Jerman, Cina dan Perancis, yang secara kolektif menyumbang 74 persen dari ekspor persenjataan global, dengan Amerika Serikat dan Rusia memegang 56 persen dari seluruh ekspor.

Selama lima tahun terakhir China telah lebih jauh mengokohkan posisinya sebagai eksportir utama senjata, menggantikan Prancis sebagai eksportir senjata terbesar keempat. Pakistan tetap pelanggan terkemuka China untuk penjualan senjata, dengan menyerap 55 persen dari ekspor senjata China, sedangkan Bangladesh dan Myanmar mewakili sekitar 13 persen dan Sri Lanka dua persen.
Ekspor senjata konvensional Cina, termasuk pesawat canggih, rudal, kapal dan artileri, naik 162 persen selama 2008- 2012 dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. Pada 2013 ekspor militer China mencapai sekitar $ 1,8 miliar. Basis pelanggan China kini mencapai wilayah Amerika Selatan hingga ke Afrika. Di Pakistan, selain produksi bersama pesawat tempur JF-17, kedua negara telah memiliki perjanjian produksi bersama resmi pada kapal, tank tempur dan pesawat kecil.

Setelah China memberikan sistem SAM HQ-9 / FD-2000 ke Uzbekistan dan Turkmenistan, ketergantungan mereka pada China tidak berhenti di situ, karena mereka akan harus membeli radar Cina, pesawat peringatan dini (AWACS) dan bahkan jet tempur untuk mengkoordinasikannya dengan sistem pertahanan udara, Para personil Cina pun akan menginstal dan memperbaiki sistem dan melatih operator. Karena itu, setelah SAM HQ-9 memasuki layanan Turkmenistan dan Uzbekistan, maka mereka cenderung untuk membeli radar buatan Cina, AWACS, dan bahkan pesawat tempur, yang akan menghambat ekspor sistem pertahanan S-300 Rusia ke negara-negara tersebut.

Pertanyaan terbesar yang belum terjawab adalah – mengapa Turkmenistan dan Uzbekistan, keduanya berbagi perbatasan dengan Afghanistan (Turkmenistan – 462 mil, dan Uzbekistan – 85 mil), membeli SAM pertahanan modern ?.

Pertanyaannya sangat relevan dengan apa yang terjadi pada tahun 1995, di mana Turkmenistan menyatakan kebijakan netralitas diplomatik internasional, dan pada 12 Desember tahun itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan suara bulat mensahkan Resolusi pada Netralitas Permanen Turkmenistan, dengan 25 negara co-sponsor resolusi tersebut.

Meskipun apa yang terjadi di Afghanistan, di mana sebagian besar Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) telah ditarik, baik militer Afghanistan maupun Taliban, sama sama tidak memiliki aset udara apapun. Mungkinkah tindakan Turmenistan ini sebagai sikap ke Rusia, yang mencaplok Crimea Maret tahun lalu ?. Sistem pertahanan udara Cina belum tentu mengidentifikasi pesawat Rusia sebagai “sahabat,” apalagi pesawat AS masih beroperasi dari pangkalan udara Afghanistan yang juga harus dipantau Turkmenistan.

Atau bisa saja pembelian ini hanya sebuah sikap ramah untuk meningkatkan adidaya ekonomi Eurasia dengan memotong harga gas alam ke Beijing yang lebih baik? Melihat sikap politik-militer yang tertutup dari Cina, Turkmen dan kebijakan pemerintah Uzbek, maka jawabannya akan lama datang, jika memang ada.(silkroadreporters.com). jkgr

0 komentar:

Post a Comment