Kemarin, Komandan Korem (Danrem)
011/Lilawangsa, Kolonel Inf A Rachim Siregar mengatakan, saat ini
pihaknya mendeteksi sekitar lebih dari 100 pucuk senjata ilegal masih
beredar di kalangan orang yang tidak berhak di wilayah Korem Lilawangsa.
Menurutnya, senjata-senjata ilegal tersebut merupakan sisa-sisa konflik
yang diperoleh melalui jalur-jalur ilegal yang tersebar di Asia
Tenggara. Danrem juga menyatakan, pihak keamanan tidak henti-hentinya
mengimbau masyarakat yang masih memiliki senjata untuk segera
menyerahkannya kepada pihak berwajib.
Boleh diserahkan kepada TNI,
boleh juga kepada polisi demi terciptanya keamanan dan terpeliharanya
perdamaian di Aceh.
Sebagaimana diketahui, bahwa industri
pembuatan senjata ilegal adalah industri yang cukup menjanjikan dengan
keuntungan yang menggiurkan dengan melihat pasar Asia yang marak dengan
aksi-aksi terorisme maupun pemberontakan bersenjata termasuk aksi-aksi
kriminalitas bersenjata.. Sebenarnya, sejarah mencatat bahwa industri
pembuatan senjata dimulai sejak munculnya perlawanan terhadap ekspansi
Jepang di Danao, Philipina. Para produsen mensupplai senjata kepada
gerilyawan untuk melawan penjajahan Jepang.
Penyebaran industri ini cukup masive sehingga tercatat oleh pemerintahan Philipina bahwa
terdapat lebih dari 100.000 penduduk Danao yang terlibat dalam industri
ilegal ini. Pembuatan senjata “home industry” ini dilakukan
dengan membuat replika dari senjata-senjata laras panjang yang sudah
cukup mahsyur di dunia, seperti AK-47, M-16, AR-15, hingga jenis-jenis
pistol dan senjata otomatis dengan kaliber besar. Setiap pucuk
senjatanya, dijual bervariasi tergantung dari jenis dan kualitas dan
mungkin daya hancurnya, mulai dari 80 USD sampai dengan 1000 USD.
Melihat realitas di atas, tentunya tidak
mengherankan bahwa penyebaran senjata di Indonesia khususnya di daerah
konflik (maupun bekas konflik) cukup marak dan memprihatinkan. Entah
berapa banyak juga kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di
Indonesia khususnya di Papua dan Aceh, belum lagi jika kita menghitung
korban akibat penyebaran senjata ilegal tersebut.
Pernyataan dan imbauan
Danrem kepada warga untuk menyerahkan senjatanya secara sukarela
rasa-rasanya kecil kemungkinan untuk terlaksana tanpa adanya langkah
nyata dari pemerintah Aceh dalam mengedepankan aksi anti kekerasan
selama pemerintahan berlangsung. Bagaimana peran seorang para eks
kombatan GAM untuk mengimbau para eks kombatan yang masih terbawa-bawa
suasana masa konflik yang mungkin bagi sebagian di antara mereka
merupakan masa-masa “romantis” bersama “istri pertamanya” (senjata).
Namun, jika pemerintahan Aceh saat ini acuh dalam melihat persoalan ini
karena sulit melepas dari latar belakang kekerasan yang dibawa sejak
proses menuju kekuasaan Aceh saat ini, maka hampir dapat dipastikan
bahwa keadaan keamanan Aceh akan selalu tidak aman dan rawan
letupan/konflik sesama/horizontal sehingga kredibilitas pemerintah dan
pemimpinnya dipertanyakan.
Persoalan keamanan adalah persoalan
bersama, bukan hanya persoalan bagi TNI dan POLRI saja. Pemerintah
beserta rakyat juga harus terlibat di dalamnya agar stabilitas keamanan
betul-betul dapat terwujud. Aparat keamanan juga perlu lebih “kreatif”
dalam mencegah peredaran senjata ilegal di Aceh, misalnya dengan
memotong jalur-jalur supplai senjata-senjata tersebut. Ini persoalan
menahun dan bersifat klasik, jadi masak aparat intelijen kita “tidak
tahu” jalur-jalur maupun titik masuknya senjata-senjata itu? Sementara
itu, Pemerintah pun bisa melakukan langkah-langkah diplomatis dengan
negara-negara tetangga di Asia untuk menjadikan isu ini sebagai isu
bersama untuk diperangi bersama.
Masih banyak lagi kreativitas
aparat keamanan dan pemerintah yang dapat diperbuat demi terwujudnya
keamanan dan perdamaian dibandingkan pikiran kecil saya sebagai rakyat
biasa yang senang mengkritisi, hanya tinggal satu persoalan, mau atau
tidak?
kompasiana
0 komentar:
Post a Comment