Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo
"Ternyata di sana cuma Rp9 juta. Jauh beda kan harganya."
VIVAnews - Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal TNI
Pramono Edhie Wibowo mengakui, dalam pembelian alat utama sistem
persenjataan (alutsista) dari negara luar pasti melibatkan broker atau
perantara. Namun, keterlibatan broker bukan berarti memudahkan proses
pembelian.
Pramono punya pengalaman soal broker. Dia nyaris tertipu broker saat ingin melengkapi Senjata Senapan Serbu versi 2 (SS2).
"Waktu
itu saya mau beli teropong bidik. Teropong itu untuk melengkapi senapan
SS2 buatan PT Pindad yang tidak memiliki teropong bidik," ujar Pramono
di Markas Besar TNI AD, Jakarta, Kamis 3 Oktober 2012.
Teropong
bidik untuk melengkapi SS2 itu bernama teropong Truicon Accupoint.
Teropong bidik jenis ini bisa digunakan untuk perang di waktu malam
hari.
Teropong Truicon itu juga dilengkapi lensa 3D, sehingga
bisa melihat dengan jelas bidikan, meski kondisi malam hari atau
berkabut.
Pramono menjelaskan, harga satu buah Teropong Truicon
yang ditawarkan broker itu mencapai Rp30 juta. Sementara harga satu buah
senapan SS2 hanya Rp9 juta.
Melihat harga teropong itu lebih
mahal dari harga SS2, maka Pramono pun ragu untuk membeli. "Saya cek di
internet, ternyata cuma US$ 1.900," kata Pramono.
Lalu dia
memerintahkan anak buahnya mengecek langsung harga teropong bidik di
Amerika Serikat. "Ternyata di sana cuma Rp9 juta. Jauh beda kan
harganya," kata Pramono.
Karena itu, Pramono melihat, perbedaan
harga asli dengan harga yang ditawarkan broker itu membuatnya miris.
Aksi broker seperti itu, kata Pramono, membuka potensi tindak pidana
korupsi dan merugikan negara.
"Merasa berdosa saya kepada negara, kepada rakyat. Saya tidak mau itu. Jika mendapat harga murah, kenapa tidak," ucapnya.
"Pakai
jasa broker boleh-boleh saja, kalau sesuai harganya. Kalau masih bisa
diproduksi di dalam negeri ya dalam negeri. Tapi harga jangan ketinggian
kalau kita pakai rekanan," Pramono menambahkan.
Pengadaan Alutsista Butuh Biaya
Alutsista
yang dimiliki TNI sebagian sudah uzur. Karena itu membutuhkan perawatan
dan peremajaan dengan alutsista yang baru dan lebih modern.
Pengadaan
alutsista yang baru, menurut Pramono, juga tak lepas dari persoalan
biaya. Tentu tidak sedikit. Selain harganya yang mahal, perawatan
alutsista juga membutuhkan biaya mahal.
"Lihat wanita dan pria.
Mereka yang cantik dan ganteng, tentu butuh perawatan yang mahal kan.
Begitu juga dengan alutsista. Ada rupa ada harga, ada mutu ada biaya,"
kata Pramono.
Karena itu, ia menginginkan agar alutsista,
terutama yang keluaran baru dirawat agar tidak rusak. Karena biar
bagaimanapun, alutsista itu menjadi bagian penting dalam kemiliteran.
"Alutsista yang sudah tua pun harus dirawat, kalau perlu dikembangkan, supaya bisa tetap dipakai," ujarnya. (sj)
0 komentar:
Post a Comment