SURABAYA-(DM) : Ketua Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM) Laksda TNI (Purn)
Robert Mangindaan mengemukakan, pemerintah belum memiliki kebijakan yang
berorientasi pada pengembangan sektor maritim, padahal sebagian besar
wilayah Indonesia adalah laut.
"Bahkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan MP3EI (Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), fokus pemerintah masih pengembangan infrastuktur wilayah daratan," kata Mangindaan di Surabaya, Kamis.
Pernyataan Robert Mangindaan itu disampaikan pada seminar nasional "Membangun Kembali Kejayaan Bangsa Indonesia sebagai Bangsa Maritim" yang digelar Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL) Kobangdikal.
"Sekitar 70 persen wilayah Indonesia adalah laut dan sudah seharusnya pemerintah memiliki kebijakan yang lebih berorientasi pada pengembangan maritim. Tapi, kami melihat hal itu belum banyak dilakukan," kata Mangindaan yang saat ini aktif menjadi Tenaga Profesional Tetap di Lemhanas.
Menurut ia, posisi maritim Indonesia dipengaruhi tiga faktor utama, yakni globalisasi perdagangan, keamanan wilayah perairan dan dominasi kekuatan maritim negara-negara besar.
Sementara untuk pengelolaan wilayah maritim, ada tiga elemen yang menangani, yakni bidang kelautan, pelayaran dan instrumen keamanan dalam hal ini TNI Angkatan Laut.
"Untuk membangun kesadaran maritim di Indonesia, diperlukan adanya peran politik, dukungan teknologi, pendanaan, dan regulasi dari pemerintah," tuturnya.
Pakar statistik ITS Drs Kresnayana Yahya Msc dalam kesempatan sama mengatakan, kontribusi sektor maritim terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) saat ini masih sangat rendah sekitar 10 persen, padahal potensi yang bisa dikembangkan sangat besar.
"Dengan wilayah laut yang sangat luas, potensi maritim itu sebenarnya mencapai 1,2 triliun dolar AS pertahun. Ini salah satu modal besar untuk mendukung perekonomian," ucapnya.
Pimpinan lembaga konsultan bisnis Enciety itu menambahkan, selain kekayaan sumber daya laut yang melimpah, sektor layanan jasa kemaritiman juga belum digarap secara maksimal.
Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Soeparno dalam sambutan pembukaan seminar mengatakan, belum maksimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya laut, lebih disebabkan pupusnya visi maritim dan kurangnya kesadaran komponen bangsa.
"Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam kelautan memerlukan penguasaan teknologi rekayasa maritim yang sarat 'high tech' dan 'high cost'," ujarnya dalam sambutan yang dibacakan Asisten Personel KSAL Laksda TNI Sudirman.
KSAL menambahkan, TNI AL berupaya menjadi pelopor dalam membangun budaya kemaritiman yang sejalan dengan program pemerintah dan bertanggung jawab secara moril untuk ikut membangun kembali kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim.
Seminar yang diikuti sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan itu, juga menghadirkan pembicara lain, yaitu pakar kelautan dan perkapalan ITS Prof Daniel Rosyid PhD, yang mengupas pembangunan visi maritim melalui pendidikan.
"Bahkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan MP3EI (Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), fokus pemerintah masih pengembangan infrastuktur wilayah daratan," kata Mangindaan di Surabaya, Kamis.
Pernyataan Robert Mangindaan itu disampaikan pada seminar nasional "Membangun Kembali Kejayaan Bangsa Indonesia sebagai Bangsa Maritim" yang digelar Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL) Kobangdikal.
"Sekitar 70 persen wilayah Indonesia adalah laut dan sudah seharusnya pemerintah memiliki kebijakan yang lebih berorientasi pada pengembangan maritim. Tapi, kami melihat hal itu belum banyak dilakukan," kata Mangindaan yang saat ini aktif menjadi Tenaga Profesional Tetap di Lemhanas.
Menurut ia, posisi maritim Indonesia dipengaruhi tiga faktor utama, yakni globalisasi perdagangan, keamanan wilayah perairan dan dominasi kekuatan maritim negara-negara besar.
Sementara untuk pengelolaan wilayah maritim, ada tiga elemen yang menangani, yakni bidang kelautan, pelayaran dan instrumen keamanan dalam hal ini TNI Angkatan Laut.
"Untuk membangun kesadaran maritim di Indonesia, diperlukan adanya peran politik, dukungan teknologi, pendanaan, dan regulasi dari pemerintah," tuturnya.
Pakar statistik ITS Drs Kresnayana Yahya Msc dalam kesempatan sama mengatakan, kontribusi sektor maritim terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) saat ini masih sangat rendah sekitar 10 persen, padahal potensi yang bisa dikembangkan sangat besar.
"Dengan wilayah laut yang sangat luas, potensi maritim itu sebenarnya mencapai 1,2 triliun dolar AS pertahun. Ini salah satu modal besar untuk mendukung perekonomian," ucapnya.
Pimpinan lembaga konsultan bisnis Enciety itu menambahkan, selain kekayaan sumber daya laut yang melimpah, sektor layanan jasa kemaritiman juga belum digarap secara maksimal.
Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Soeparno dalam sambutan pembukaan seminar mengatakan, belum maksimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya laut, lebih disebabkan pupusnya visi maritim dan kurangnya kesadaran komponen bangsa.
"Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam kelautan memerlukan penguasaan teknologi rekayasa maritim yang sarat 'high tech' dan 'high cost'," ujarnya dalam sambutan yang dibacakan Asisten Personel KSAL Laksda TNI Sudirman.
KSAL menambahkan, TNI AL berupaya menjadi pelopor dalam membangun budaya kemaritiman yang sejalan dengan program pemerintah dan bertanggung jawab secara moril untuk ikut membangun kembali kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim.
Seminar yang diikuti sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan itu, juga menghadirkan pembicara lain, yaitu pakar kelautan dan perkapalan ITS Prof Daniel Rosyid PhD, yang mengupas pembangunan visi maritim melalui pendidikan.
Sumber : Antara
0 komentar:
Post a Comment