BALIKPAPAN-(DM) : ALUR Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan kawasan strategis dan
padat lalu lintas kapal. Mulai kapal yang keluar masuk melalui Selat
Malaka (ALKI I), Selat Makassar (ALKI II), hingga perairan Papua
(diproyeksikan sebagai ALKI III).
Untuk kepentingan strategis
tersebut, Kementerian Pertahanan RI bersama TNI AL menempatkan piranti
khusus di berbagai titik pantau strategis. Salah satunya di Tanjung
Mangkalihat, bagian paling timur dari Pulau Kalimantan.
Piranti tersebut dinamakan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS).
IMSS merupakan suatu sistem pengawasan maritim yang terintegrasi antara Coastal Surveillance Station (CSS) atau stasiun pengawas di darat dengan sentra pengawasan lainnya.
"CSS terintergrasi dengan Kapal Perang
Indonesia (KRI), Regional Command Center (RCC) atau pusat pengendalian
regional, dan Fleet Command Center (FCC) atau pusat pengendalian
armada," kata Komandan Lanal Sangatta, Letkol Laut (E) Yudhi Bramantyo,
didampingi Komandan Pos TNI AL Tanjung Mangkalihat, Letda Laut (P)
Machfudz Azhari.
Fungsi IMSS adalah untuk kewaspadaan di bidang
maritim (maritime domain awareness), yaitu mengamankan wilayah perairan
Indonesia, khususnya yang berada di daerah yang padat untuk melintas
kapal-kapal yang keluar masuk Selat Malaka (ALKI I) dan Selat Makassar
(ALKI II), dan perairan wilayah Indonesia (melalui KRI)
Untuk
kawasan Tanjung Mangkalihat, IMSS mulai difungsikan tahun 2010. Berbagai
peralatan yang berada di IMSS antara lain Radio Detection and Ranging
(RADAR) yang berfungsi sebagai deteksi kontak yang berada di atas
permukaan laut (kapal-kapal).
"Ada pula Automatic Identification
Station (AIS) yang berfungsi sebagai pemberi informasi tentang nama
kapal dan nama panggilan kapal, nomor IMO, dimensi dan tipe kapal, draft
kapal, waktu keberangkatan dan kedatangan kapal, tujuan kapal, posisi
Lintang Bujur, halu kapal, dan kecepatan kapal," kata Danlanal.
Data-data
tentang kapal selalu diperbarui dalam periode tertentu pada skala
internasional. Sehingga kapal-kapal yang tidak terdaftar bisa
didefinisikan sebagai kapal tak dikenal. Kapal rakyat pun tetap
terdeteksi dalam radar ini.
IMSS dilengkapi dengan VHF Radio yang
berfungsi sebagai alat komunikasi dengan kapal-kapal yang melintas di
sekitar stasiun pengawas di darat. Plus HF Radio yang berfungsi sebagai
backup data komunikasi ke RCC apabila VSAT tidak bisa digunakan dan juga
sebagai alat komunikasi dengan RCC ataupun dengan kapal-kapal yang
melintas di sekitar CSS
Ada pula Day Camera (kamera siang hari)
dan FLIR camera (kamera malam hari) yang berfungsi untuk mengambil
gambar (memotret) kapal-kapal yang melintas di sekitar CSS. "Kamera
tersebut bisa digerakkan langsung dari RCC maupun FCC tanpa memberi tahu
CSS," kata Machfudz.
Sarana pendukung lain di IMSS adalah
Nobletec yang berfungsi sebagai monitor posisi kapal-kapal yang melintas
di sekitar CSS dan sebagai alat komunikasi dengan RCC dan FCC melalui
text message application. "Adapun sumber tenaga sistem CSS berasal dari
dua buah diesel generator 15 Kwh," katanya.
IMSS merupakan salah
satu piranti teknologi militer yang mutakhir. Banyak negara di dunia
yang menggunakannya sebagai salah satu perangkat sistem pertahanan dan
keamanan negara.
Saat ini Indonesia memiliki 20 buah Coastal
Surveillance System (CSS). 10 buah berada di Selat Malaka dan 10 buah
berada di Selat Makassar. Juga 11 KRI yang dilengkapi IMSS. Tiga KRI di
bawah Komando Armada RI Kawasan Barat, dan delapan KRI di bawah Komando
Armada RI Kawasan Timur.
Indonesia juga memiliki dua Regional
Command Center, yaitu RCC Batam dan RCC Manado, dua Fleet Command
Center, yaitu FCC Jakarta dan FCC Surabaya, serta satu Headquarters
(HQ), yaitu HQ Cilangkap.
Mengamankan perairan di ujung timur
Pulau Kalimantan juga menyisakan berbagai cerita. Machfudz mengatakan,
mereka tetap berjuang untuk mengemban tugas negara secara maksimal dalam
segala keterbatasan.
"Yang paling terasa adalah akses menuju
lokasi yang sangat sulit. Setelah menggunakan speed boat dari
Sangkulirang menuju Manubar, perjalanan harus dilanjutkan dengan kapal
rakyat menuju Tanjung Mangkalihat selama beberapa jam," katanya.
Saat
ini Mako Lanal Sangatta menugaskan empat personel di Pos TNI AL Tanjung
Mangkalihat. Mereka harus apel di Mako Lanal dalam dua bulan sekali.
Dalam kondisi ini, Machfudz mengatakan mereka berupaya mengemban tugas
dengan sebaik baiknya.
Yang menarik, karena belum ada BTS tower,
mereka hanya bisa berkomunikasi dengan pesan singkat. "Untuk mencari
sinyal, kami harus naik motor tujuh kilometer. Itu pun sinyalnya
terputus-putus. Jadi komunikasi dengan Mako Lanal lebih banyak lewat
SMS. Kami mengecek dua hari sekali," katanya.
Karena merasakan
sendiri kendala yang dialami, Machfudz menyampaikan beberapa kebutuhan
mendasar kawasan yang dihuni sekitar 300 KK tersebut. "Yang utama adalah
jalan darat. Selama ini kami harus lewat laut atau memutar ke arah
Berau melalui Teluk Sulaiman. Jalan tembus ke Manubar sangat
diperlukan," katanya.
Selain itu, pasokan listrik masih
mengandalkan genset. Kalaupun ada genset, masih mengandalkan pasokan
solar dari Sulawesi. "Masyarakat banyak tergantung pada pasokan dari
Sulawesi. Baik pangan maupun BBM," katanya.
Salah satu solusi
untuk mengatasi problem listrik adalah dengan penggunaan solar cell atau
pembangkit listrik tenaga surya. Hal ini perlu diupayakan secara
serius. "Di kawasan tersebut juga belum ada dermaga. Perjalanan harus
disambung dengan kapal kecil sampai ke tepian," katanya.
Selaku
personel TNI yang juga berposisi sebagai masyarakat, Machfudz pun
berharap agar geliat pembangunan bisa ditularkan secara proporsional di
kawasan tersebut. Sehingga mampu menjadi "pelepas dahaga" bagi para
warga yang terpisah jarak ratusan kilometer dengan ibukota kabupaten.
Sumber : Tribunnews
0 komentar:
Post a Comment