JKGR-(DM) : Indonesia akan membeli 7 tambahan pesawat C 295 untuk melengkapi 9
pesanan terdahulu, sehingga total pesawat menjadi 16 unit. “Angkatan
Udara membutuhkan tambahan 7 pesawat”, agar menjadi full skuadron 16
pesawat”, ujar vice-president marketing and sales PT DI, Arie Wibowo.
Sebelumnya TNI AU telah menandatangani pembelian 9 pesawat C 295 di
Singapore air show, Februari 2012. Selain untuk TNI AU, PT DI juga
menawarkan C 295 s untuk Densus 88 Polri, Malaysia dan Philipina.
Indonesia telah menerima 2 unit C 295 yang diterbangkan dari Airbus
Military, Seville- Spanyol. 5 pesawat lainnya akan disiapkan setengah
jadi (green condition) oleh Airbus Military Spanyol, untuk difinalisasi
(customise) oleh PT DI di Bandung- Jawa Barat, sesuai permintaan TNI
AU. Sementara 2 sisanya lagi akan dirakit di PT DI Bandung seutuhnya
dengan menggunakan sebagian komponen dari Airbus Military yang kemudian
dilanjutkan dengan 7 pesanan C 295 lainnya.
Peran PT DI dalam pembuatan pesawat C 295 masuk kategori tier one,
yang membuat bagian utama pesawat (main frame) termasuk: rear fuselage
dan tail empennage.
Akhir- akhir ini konsep multirole (utility) bukan hanya dianut oleh
helikopter, melainkan juga merambah ke dunia pesawat fix wing. Pesawat
twin-engined turboprop C 295 awalnya disiapkan sebagai pesawat angkut
(Cargo) dan transport militer. Namun para teknokrat militer terus
mengembangkannya agar memiliki fungsi lebih melebar, menjadi pesawat
peringatan dini AEW&C, Anti Kapal Selam dan Anti Kapal Permukaan.
Tujuannya tak lain untuk memangkas biaya operasi dan perawatan.
Dengan mengelompokkan berbagai alutsista dalam satu platform, dana
operasional akan dihemat cukup signifikan, terutama urusan perawatan
pesawat. Persoalan ini biasanya dihadapi negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia.
Awal tahun 2011, EADS CASA Airbus Military menandatangani kesepakatan
dengan Israel Aerospace Industries (IAI), untuk mengembangan pesawat
pendeteksi dini CN 295 AEW&C (Airborne Early Warning & Control system). Pesawat itu kemudian diuji coba bulan Februari 2012, dan
diklaim sukses. Dalam uji terbang itu, C-295 AEW atau AEW&C mampu
terbang 8 jam lebih dengan maksimum altitude antara 20,000ft (6,100m)
hingga 24,000feet.
C 295 ini diinstal perangkat “integrated tactical system mission”
milik IAI/ Elta sebagai penyuplai active scanned array radar, serta
piranti pendukung lainnya. C-295 juga dilengkapi dilengkapi modul
anti-surface dan anti-submarine warfare.
Pesawat AEW&C atau AWACS berfungsi sebagai:BVR Missile Guidance,
Electronic Warfare (EW) dan Reconnaissance. Ia menjadi mata dan backbone
informasi bagi armada tempur sebuah negara.
C 295 AEW&C kini sedang dipasarkan oleh Airbus Military dan
mereka yakin Indonesia merupakan salah satu negara pembeli potensial.
Jika Indonesia memiliki sekaligus bisa memproduksi C 295, tentu menjadi
sebuah lompatan besar. Sebagai produsen sekaligus konsumen.
Tidak itu saja, Airbus Military juga terus mengembangkan kemampuan pesawat C 295.
Saat ini Airbus Military dan MBDA juga telah sukses mengujicoba
instrumen Marte MK2/S anti-ship inert missile yang diinstal di bawah
sayap C 295 maritime patrol.
Uji terbang dan “penembakan” ini merupakan uji terakhir dari
rangkaian test performa kerjasama Airbus Military – MBDA untuk validasi
integrasi aerodinamis dari rudal Marte di pesawat C 295.
Keberhasilan
ini membuat pesawat C 295 memiliki kemampuan baru dalam menjalankan misi
militer. Marte MK2 merupakan rudal anti kapal kelas menengah dengan
bobot 70 kg, flight altitude sea skimming untuk memburu kapal sejauh 25
km.
Rudal buatan Italia dan Spanyol (MBDA) ini telah diinstal di
helikopter Italia: AW-101 dan NFH (Naval NH90) serta sedang
diintegrasikan di pesawat tempur Eurofighter Typhoon untuk jenis Marte
ER.
Sebelumnya C 295 juga telah sukses mengujicoba peluncuran rudal anti-submarine warfare (ASW) torpedo MK46.
Kira- kira apa motif TNI AU membeli 9 pesawat C 295 lalu kemudian
menambahnya dengan 7 pesawat sehingga akan memiliki 16 pesawat C 295 ?.
Apakah seluruhnya akan dijadikan pesawat angkut militer ?. Tentu kita
harapkan obsesi TNI AU tidak hanya segitu. Militer adalah alat pemukul
negara terhadap gangguan asing. Ketemu lawan (surveillance), sikat dan
pulang, adalah kondisi yang ideal.
Sumber : JKGR
CN-295 versi patroli maritim (MPA) sepertinya masih bisa untuk membawa Yakhont yang bisa mencapai 300 km, disamping yang sudah pasti bisa: Exocet, Harpoon, Torpedo, dst, yang digantung di sayap.
Dulu waktu masuk ke dalam CN-235 MPA, di dalam badannya memang banyak panel instrument sistem MPA nya, sebagian untuk jalan akses. CN-295 yang badannya lebih panjang 3 meter dari CN-235 akan menyediakan more space untuk reposisi panel2 instrument ini sehingga ada space lega untuk ditempati 1 Yakhont sepanjang “hanya” 8 meter dan diameter 0.7 meter. Dropping Yakhont seberat 2.5 – 3 ton dengan parasut juga bukan hal sulit bagi CN-295. CN-235 saja sudah lazim untuk dropping kargo 3 ton. Penyalaan motor roket Yakhont perlu sedikit ditunda saat sedang ditarik parasut keluar pesawat.
Radar MPA cukup jauh jangkauannya, sehingga sayang kalau “hanya” bawa Harpoon dan sederajat. Dengan membawa Yakhont, CN-295 akan lebih dahsyat krn lebih memiliki capability “first-look first-kill”, bukan “first-look first-run”. Selain itu biaya untuk membawanya cukup “murah” dan tidak complex, bandingkan dengan CN-295 vs KRI + Helikopter OTHT. Di samping itu, pada dasarnya pesawat akan relatif bebas dari resiko serangan kapal selam musuh.
Ya, … dgn kemampuan ini, CN-295 MPA + 1 Yakhont + 2 Harpoon + 2 Exocet + 2 AAM (untuk pertahanan diri) tiba-tiba akan menjelma menjadi sosok yang menakutkan, sebuah “bomber” strategis dengan spesialisasi ship hunter & killer. Apalagi kalau ditambah winglet di kedua ujung sayapnya, jangkauannya akan lebih jauh lagi.
(Note: Winglet akan memperbaiki aliran udara di bagian ujung atas sayap sehingga distribusi gaya angkat di area sekitar ujung sayap akan bertambah. Winglet akan “menghilangkan” aliran udara vortex di ujung sayap, yang selama ini menganggu aliran udara laminer di situ)
Btw, sampai saat ini kita juga belum ada informasi bagaimana caranya SU-35 BM dan PAK-FA (dan turunannya) akan membawa Brahmos (turunannya Yakhont).
JKGR
CN-295 versi patroli maritim (MPA) sepertinya masih bisa untuk membawa Yakhont yang bisa mencapai 300 km, disamping yang sudah pasti bisa: Exocet, Harpoon, Torpedo, dst, yang digantung di sayap.
Dulu waktu masuk ke dalam CN-235 MPA, di dalam badannya memang banyak panel instrument sistem MPA nya, sebagian untuk jalan akses. CN-295 yang badannya lebih panjang 3 meter dari CN-235 akan menyediakan more space untuk reposisi panel2 instrument ini sehingga ada space lega untuk ditempati 1 Yakhont sepanjang “hanya” 8 meter dan diameter 0.7 meter. Dropping Yakhont seberat 2.5 – 3 ton dengan parasut juga bukan hal sulit bagi CN-295. CN-235 saja sudah lazim untuk dropping kargo 3 ton. Penyalaan motor roket Yakhont perlu sedikit ditunda saat sedang ditarik parasut keluar pesawat.
Radar MPA cukup jauh jangkauannya, sehingga sayang kalau “hanya” bawa Harpoon dan sederajat. Dengan membawa Yakhont, CN-295 akan lebih dahsyat krn lebih memiliki capability “first-look first-kill”, bukan “first-look first-run”. Selain itu biaya untuk membawanya cukup “murah” dan tidak complex, bandingkan dengan CN-295 vs KRI + Helikopter OTHT. Di samping itu, pada dasarnya pesawat akan relatif bebas dari resiko serangan kapal selam musuh.
Ya, … dgn kemampuan ini, CN-295 MPA + 1 Yakhont + 2 Harpoon + 2 Exocet + 2 AAM (untuk pertahanan diri) tiba-tiba akan menjelma menjadi sosok yang menakutkan, sebuah “bomber” strategis dengan spesialisasi ship hunter & killer. Apalagi kalau ditambah winglet di kedua ujung sayapnya, jangkauannya akan lebih jauh lagi.
(Note: Winglet akan memperbaiki aliran udara di bagian ujung atas sayap sehingga distribusi gaya angkat di area sekitar ujung sayap akan bertambah. Winglet akan “menghilangkan” aliran udara vortex di ujung sayap, yang selama ini menganggu aliran udara laminer di situ)
Btw, sampai saat ini kita juga belum ada informasi bagaimana caranya SU-35 BM dan PAK-FA (dan turunannya) akan membawa Brahmos (turunannya Yakhont).
JKGR
0 komentar:
Post a Comment