Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan
JAKARTA:(DM) - Pembocoran intersepsi Edward Snowden, mantan kontraktor CIA/NSA ke
server utama badan intelijen Amerika Serikat telah membuka mata dunia
tentang terjadinya skandal mata-mata. Badan intelijen AS pada awalnya
khawatir Snowden adalah mata-mata yang disusupkan kedalam badan
intelijen utama. Ternyata pengambil alihan data intelijen yang juga
menyangkut kebijakan militer AS di copy secara acak, bukan dicuri dengan
target spesifik.
Snowden membeberkan keterlibatan AS dalam menyadap demikian banyak negara, termasuk kepala pemerintahan, tidak peduli lawan ataupun negara sahabat. Dari 90 pos penyadap, ternyata beberapa stasiun dilakukan juga oleh kelompok komunitas intelijen khusus dengan sandi "5-Eyes" yang terdiri dari AS, Inggris, Australia, Canada dan New Zealand.
Media Fairfax pada hari Kamis (31/10/2013) melaporkan keterlibatan Australian Signals Directorate (ASD) dalam program penyadapan dari NSA (National Security Agency), dengan sandi STATEROOM, yang mengumpulkan informasi elektronik intelijen dari fasilitas rahasia dalam beberapa misi diplomatik baik di kedutaannya maupun kantor konsulatnya. Menurut seorang mantan perwira intelijen Australia (anonim), ASD beroperasi, "dari kedutaan Australia di Jakarta, Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili, serta Komisi Tinggi di Kuala Lumpur dan Port Moresby, dan juga pos-pos diplomatik lainnya." Dia juga mengatakan Konsulat Australia di Denpasar, Bali, juga telah digunakan untuk sinyal pengumpulan intelijen
Dokumen Snowden tersebut mencatat bahwa operasi dilakukan dengan sangat rahasia oleh tim dalam ukuran kecil dan misi mereka yang sebenarnya tidak diketahui oleh sebagian besar staf diplomatik di mana mereka berada. Stasiun itu digunakan untuk mencegat panggilan telepon dan data internet di seluruh Asia. Terbongkarnya langkah penyadapan telah menuai protes baik dari China, yang menyatakan prihatin dan menuntut klarifikasi dan penjelasan. Pemerintah Malaysia, Thailand, Indonesia dan Papua Nugini juga menyatakan keprihatinan yang serius.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan bahwa pemerintah Indonesia “strongly protests” atas operasi spionase Australia, dan apabila dikonfirmasi benar, hal tersebut, "tidak hanya berupa pelanggaran keamanan, tetapi juga pelanggaran serius terhadap norma-norma diplomatik dan etika." Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia menolak untuk mengomentari laporan tersebut. Sementara Perdana Menteri Australia Tony Abbott hanya mengatakan bahwa pemerintah tidak melanggar hukum.
Mantan perwira intel Australia tersebut juga mengungkapkan kepada Fairfax, bahwa "fokus utama pengawasan tim penyadap di Kedutaan Besar Australia di Jakarta adalah "masalah politik, diplomatik dan ekonomi. " Dia menjelaskan, "Pertumbuhan besar jaringan telepon seluler kini menjadi sebuah anugerah yang besar dan elit politik di Jakarta adalah sekelompok orang yang cerewet." Ini menarik karena si agen menegaskan bahwa para elit politik tadi hanya terus meributkan dan mencurigai badan intelijen Indonesia menyadap mereka. Tetapi sebenarnya mereka tidak mengetahui ada badan intelijen negara lain yang telah lama menyadap mereka, tanpa disadari. Karena itu dia menyatakan "Jakarta’s political elite are a loquacious bunch."
Fairfax juga melaporkan bahwa eksposur terbaru menggaris bawahi peran sentral agen mata-mata Australia dan penyediaan stasiun khusus untuk operasi pengawasan NSA di Asia . Sama dengan kebijakan pemerintahan Partai Buruh sebelumnya, yang berkomitmen untuk memberikan akses pangkalan militer Australia bagi kepentingan pasukan Amerika untuk menghadapi China. Dengan demikian maka Direktorat Signal Australia (ASD) benar-benar terintegrasi ke dalam jaringan mata-mata elektronik AS yang sangat luas .
Dari dokumen NSA yang bocor, terungkap bahwa tercatat ada empat lokasi penting di Australia yang berkontribusi memberikan data ke program NSA dengan sandi X -Keyscore , yang memisahkan data ke dalam aliran nomor telepon, alamat email, log-in dan aktivitas pengguna untuk penyimpanan di bank data besar. Stasiun pengumpul tersebut adalah US-Australian Joint Defence Facility di Pine Gap dekat Alice Springs, dan tiga fasilitas ASD lainnya, yaitu, the Shoal Bay Receiving Station dekat Darwin, the Australian Defence Satellite Communications Station di Geraldton di Australia Barat, dan the naval communications station HMAS Harman di luar kota Canberra.
Harian Sydney Morning Herald pada hari Jumat (1/11/2013) menyampaikan pengakuan mantan agen intelijen Australia, bahwa pos ASD "dikhususkan untuk melakukan pengawasan maritim dan militer, khususnya Angkatan Laut Indonesia (TNI AL), Angkatan Udara (TNI AU), dan komunikasi militer." Pangkalan Australia di Cocoos Islands kini telah disiapkan sebagai pangkalan bagi pesawat intai tanpa awak (drone) AS dan pesawat tempur, karena berdekatan dengan jalur pelayaran strategis di kawasan Asia Tenggara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nampaknya Australia yang tergabung dalam kelompok komunitas intelijen khusus “lima mata” memang telah melakukan kegiatan spionase melalui kantor kedutaan besarnya di Jakarta dan konsulatnya. Target mereka bukan hanya masalah terorisme saja tetapi Australia juga menyadap serta aktif memonitor masalah perkembangan politik, masalah diplomatik, dan perkembangan kondisi ekonomi Indonesia.
Amerika Serikat serta Australia jelas sangat berkepentingan dengan rangkaian pemilu dan pilpres, mereka akan berusaha mengetahui siapa pemegang kekuasaan pada tahun 2014, dan bukan tidak mungkin akan adanya campur tangan di dalamnya sesuai dengan kepentingannya. Disamping itu, disebutkan juga bahwa Direktorat Signal Australia juga memonitor perkembangan dua kekuatan militer Indonesia (TNI AL dan TNI AU). Kedua kekuatan tersebut merupakan kekuatan yang berkemampuan serang strategis yang dikhawatirkan.
Walaupun informasi tentang spionase dari Australia dan Amerika Serikat terhadap Indonesia banyak ditanggapi oleh para pejabat tingggi, kini yang terpenting adalah bagaimana Badan Intelijen Negara serta Lembaga Sandi Negara melakukan pemeriksaan sekuriti terhadap sistem pengamanan baik informasi maupun kegiatan dari pejabat. Memang diakui sulit mengatasi penyadapan dari negara lain dengan teknologi yang sudah demikian canggih.
Tetapi jalan selalu ada selama niat, kemauan serta sense of intelligence tetap ditingkatkan dan dilaksanakan. Perang intelijen sudah lama terjadi, karena itu intelijen sebaiknya ditempatkan sebagai ujung tombak pemerintah dalam mengambil langkah kebijakan dan keputusan. Yang kini sangat perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran sekuriti para pejabat dan pemegang data rahasia negara dalam menghadapi penyadapan. Tanpa itu, kita akan terus ditelanjangi, walaupun memang sudah lama tanpa disadari kita memang sudah telanjang bulat.
Stasiun Penyadap dari Intelijen Australia (smh.com.au) |
Snowden membeberkan keterlibatan AS dalam menyadap demikian banyak negara, termasuk kepala pemerintahan, tidak peduli lawan ataupun negara sahabat. Dari 90 pos penyadap, ternyata beberapa stasiun dilakukan juga oleh kelompok komunitas intelijen khusus dengan sandi "5-Eyes" yang terdiri dari AS, Inggris, Australia, Canada dan New Zealand.
Media Fairfax pada hari Kamis (31/10/2013) melaporkan keterlibatan Australian Signals Directorate (ASD) dalam program penyadapan dari NSA (National Security Agency), dengan sandi STATEROOM, yang mengumpulkan informasi elektronik intelijen dari fasilitas rahasia dalam beberapa misi diplomatik baik di kedutaannya maupun kantor konsulatnya. Menurut seorang mantan perwira intelijen Australia (anonim), ASD beroperasi, "dari kedutaan Australia di Jakarta, Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili, serta Komisi Tinggi di Kuala Lumpur dan Port Moresby, dan juga pos-pos diplomatik lainnya." Dia juga mengatakan Konsulat Australia di Denpasar, Bali, juga telah digunakan untuk sinyal pengumpulan intelijen
Dokumen Snowden tersebut mencatat bahwa operasi dilakukan dengan sangat rahasia oleh tim dalam ukuran kecil dan misi mereka yang sebenarnya tidak diketahui oleh sebagian besar staf diplomatik di mana mereka berada. Stasiun itu digunakan untuk mencegat panggilan telepon dan data internet di seluruh Asia. Terbongkarnya langkah penyadapan telah menuai protes baik dari China, yang menyatakan prihatin dan menuntut klarifikasi dan penjelasan. Pemerintah Malaysia, Thailand, Indonesia dan Papua Nugini juga menyatakan keprihatinan yang serius.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan bahwa pemerintah Indonesia “strongly protests” atas operasi spionase Australia, dan apabila dikonfirmasi benar, hal tersebut, "tidak hanya berupa pelanggaran keamanan, tetapi juga pelanggaran serius terhadap norma-norma diplomatik dan etika." Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia menolak untuk mengomentari laporan tersebut. Sementara Perdana Menteri Australia Tony Abbott hanya mengatakan bahwa pemerintah tidak melanggar hukum.
Mantan perwira intel Australia tersebut juga mengungkapkan kepada Fairfax, bahwa "fokus utama pengawasan tim penyadap di Kedutaan Besar Australia di Jakarta adalah "masalah politik, diplomatik dan ekonomi. " Dia menjelaskan, "Pertumbuhan besar jaringan telepon seluler kini menjadi sebuah anugerah yang besar dan elit politik di Jakarta adalah sekelompok orang yang cerewet." Ini menarik karena si agen menegaskan bahwa para elit politik tadi hanya terus meributkan dan mencurigai badan intelijen Indonesia menyadap mereka. Tetapi sebenarnya mereka tidak mengetahui ada badan intelijen negara lain yang telah lama menyadap mereka, tanpa disadari. Karena itu dia menyatakan "Jakarta’s political elite are a loquacious bunch."
Fairfax juga melaporkan bahwa eksposur terbaru menggaris bawahi peran sentral agen mata-mata Australia dan penyediaan stasiun khusus untuk operasi pengawasan NSA di Asia . Sama dengan kebijakan pemerintahan Partai Buruh sebelumnya, yang berkomitmen untuk memberikan akses pangkalan militer Australia bagi kepentingan pasukan Amerika untuk menghadapi China. Dengan demikian maka Direktorat Signal Australia (ASD) benar-benar terintegrasi ke dalam jaringan mata-mata elektronik AS yang sangat luas .
Dari dokumen NSA yang bocor, terungkap bahwa tercatat ada empat lokasi penting di Australia yang berkontribusi memberikan data ke program NSA dengan sandi X -Keyscore , yang memisahkan data ke dalam aliran nomor telepon, alamat email, log-in dan aktivitas pengguna untuk penyimpanan di bank data besar. Stasiun pengumpul tersebut adalah US-Australian Joint Defence Facility di Pine Gap dekat Alice Springs, dan tiga fasilitas ASD lainnya, yaitu, the Shoal Bay Receiving Station dekat Darwin, the Australian Defence Satellite Communications Station di Geraldton di Australia Barat, dan the naval communications station HMAS Harman di luar kota Canberra.
Harian Sydney Morning Herald pada hari Jumat (1/11/2013) menyampaikan pengakuan mantan agen intelijen Australia, bahwa pos ASD "dikhususkan untuk melakukan pengawasan maritim dan militer, khususnya Angkatan Laut Indonesia (TNI AL), Angkatan Udara (TNI AU), dan komunikasi militer." Pangkalan Australia di Cocoos Islands kini telah disiapkan sebagai pangkalan bagi pesawat intai tanpa awak (drone) AS dan pesawat tempur, karena berdekatan dengan jalur pelayaran strategis di kawasan Asia Tenggara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nampaknya Australia yang tergabung dalam kelompok komunitas intelijen khusus “lima mata” memang telah melakukan kegiatan spionase melalui kantor kedutaan besarnya di Jakarta dan konsulatnya. Target mereka bukan hanya masalah terorisme saja tetapi Australia juga menyadap serta aktif memonitor masalah perkembangan politik, masalah diplomatik, dan perkembangan kondisi ekonomi Indonesia.
Amerika Serikat serta Australia jelas sangat berkepentingan dengan rangkaian pemilu dan pilpres, mereka akan berusaha mengetahui siapa pemegang kekuasaan pada tahun 2014, dan bukan tidak mungkin akan adanya campur tangan di dalamnya sesuai dengan kepentingannya. Disamping itu, disebutkan juga bahwa Direktorat Signal Australia juga memonitor perkembangan dua kekuatan militer Indonesia (TNI AL dan TNI AU). Kedua kekuatan tersebut merupakan kekuatan yang berkemampuan serang strategis yang dikhawatirkan.
Walaupun informasi tentang spionase dari Australia dan Amerika Serikat terhadap Indonesia banyak ditanggapi oleh para pejabat tingggi, kini yang terpenting adalah bagaimana Badan Intelijen Negara serta Lembaga Sandi Negara melakukan pemeriksaan sekuriti terhadap sistem pengamanan baik informasi maupun kegiatan dari pejabat. Memang diakui sulit mengatasi penyadapan dari negara lain dengan teknologi yang sudah demikian canggih.
Tetapi jalan selalu ada selama niat, kemauan serta sense of intelligence tetap ditingkatkan dan dilaksanakan. Perang intelijen sudah lama terjadi, karena itu intelijen sebaiknya ditempatkan sebagai ujung tombak pemerintah dalam mengambil langkah kebijakan dan keputusan. Yang kini sangat perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran sekuriti para pejabat dan pemegang data rahasia negara dalam menghadapi penyadapan. Tanpa itu, kita akan terus ditelanjangi, walaupun memang sudah lama tanpa disadari kita memang sudah telanjang bulat.
0 komentar:
Post a Comment