Seorang pria membuat tanda kemenangan dengan tangannya saat merayakan
hasil referendum Crimea di Lapangan Lenin, Simferopol, Senin
(17/3/2014).
BELGRADE:(DM) - Aneksasi Rusia terhadap Crimea ternyata memberikan inspirasi kepada warga Bosnis Serbia untuk melepaskan diri dari kendali Sarajevo.
Referendum Crimea pada 16 Maret lalu yang akhirnya memutuskan Crimea berpisah dari Ukraina dan memilih bergabung dengan Rusia itu, ternyata diamati dengan serius di wilayah Balkan.
Di kawasan ini, perpecahan Yugoslavia dan perang antaretnis pada 1990-an menyisakan konflik perbatasan yang samar yang nyaris tak diperhatikan dunia internasional.
Bosnia yang bangkit dari kekacauan di masa itu, merupakan sebuah konfederasi longgar yang menyatukan etnis Serbia, Kroasia dan Muslim Bosnia di bawah kendali pemerintah pusat yang lemah.
Di bawah perjanjian damai Daytona 1995, Republika Sprska, yang dikelola etnis Serbia, bisa mengelola urusannya sendiri, termasuk mengumpulkan pajak dan memiliki militer sendiri.
Namun, perlahan-lahan hak-hak istimewa itu kemudian diserahkan ke pemerintah pusat di Sarajevo akibat tekanan internasional.
Presiden Republik Sprska, Milorad Dodik melihat peristiwa di Crimea itu sebagai sebuah kesempatan baru untuk mendesak agar hak-hak istimewa itu dikembalikan ke etnis Serbia Bosnia, dengan ancaman menggelar referendum pekan ini.
"Kembalikan hak-hak Republik Sprska yang diatur di bawah perjanjian Dayton dan kami tak akan meninggalkan Bosnis," kata Dodik setelah bertemu dengan duta besar Rusia untuk Bosnia, Alexander Botsan-Khartchenko beberapa hari lalu.
"Jika Anda tidak mengembalikan hak-hak kami, maka kami harus melangkah untuk menjadi lebih kuat," tambah Dodik.
Dodik memandang Bosnia sebagai sebuah negara yang tak berdaya dan menggambarkan referendum Crimea sebagai sebuah contoh penghormatan terhadap Deklarasi PBB dan hak rakyat menentukan nasibnya sendiri.
Meski demikian, sejumlah pengamat mengatakan sangat kecil kesempatan Republik Sprska dapat meninggalkan Bosnia dengan ancaman referendum. Sebab, banyaknya perbedaan antara kondisi di Balkan dan Crimea.
"Konteksnya tidak sama. Serbia tidak memiliki otoritas internasional sebesar Rusia dan saat ini tidak tertarik untuk mengizinkan referendum seperti itu," kata analis politik dari Institut Studi Politik Belgrade, Miodrag Radojevic.
Sementara itu, analis politik dari Initiative Igmanska Serbia, Sasa Popov mengatakan referendum terkait kemerdekaan Republik Sprska merupakan hal yang tak realistis.
"Kasusnya berbeda dengan Crimea. Di sana, Rusia menggunakan situasi dramatis di Ukraina untuk mengambil alit wilayah yang dahulu adalah miliknya. Republik Sprska tidak pernah menjadi wilayah Serbia," ujar Popov.
KOMPAS
0 komentar:
Post a Comment