ANALISIS:(DM) - Berita enak tapi masih perlu dikunyah adalah ketika militer Indonesia mengabarkan bahwa mereka sudah meningkatkan status pangkalan AL di Tarakan, Pontianak dan Sorong Agustus 2015 ini menjadi pangkalan utama TNI AL. Artinya dengan status peningkatan itu maka pangkalan garis depan itu bertanggung jawab penuh terhadap keamanan dan kewibawaan teritori di wilayahnya sekaligus memperpendek rentang kendali dan kecepatan reaksi tempur.
Dengan tambahan itu berarti saat ini angkatan laut Indonesia memiliki 14 pangkalan utama TNI AL yang harus mampu memberikan dukungan logistik dan amunisi alias bekal ulang untuk berbagai kapal perang termasuk ketersediaan alutsista pertahanan pangkalan dari serangan pihak lawan. Yang jelas bukan sekedar menampung jenjang karir laksamana pertama yang menjadi komandannya. Seperti kita ketahui pangkalan utama AL harus dijaga 1 batalyon pasukan marinir berikut sejumlah alutsita anti serangan udara dan anti serangan bawah air.
Membuat garasi adalah bagian dari mengelola infrastruktur agar kendaraan yang diparkir tuan rumah aman, nyaman dan terpelihara. Demikian juga dengan pembangunan infrastruktur militer dengan maksud untuk memperkuat logistik dan kecepatan reaksi militer. Bisa dibayangkan jika terjadi sebuah krisis militer di pulau Sebatik dan Ambalat jika masih harus mendatangkan kapal perang dari Makassar dan Surabaya berapa lama waktu tempuh untuk sampai di tujuan. Maka dilihat dari sisi ini tujuan peningkatan pangkalan AL itu tepat waktu.
Pertanyaannya adalah apakah sudah sepadan sebaran alutsista KRI di 14 Lantamal itu. Pangkalan utama AL Surabaya dalam pandangan kita harus mampu membagi beban persebaran alutsista matra laut. Sangat berbahaya jika hanya menumpuk alutsista di satu titik. Sebuah serangan udara mematikan yang tak terlacak radar dipastikan akan melumpuhkan angkatan laut Indonesia manakala Surabaya di hujani peluru kendali udara darat dan bom-bom pintar dari sebuah kekuatan yang punya senjata itu.
Pangkalan AL di Belawan, Padang, Tanjung Pinang sangat pantas diberikan korvet bukan sekedar LST. Aliran patroli juga diperkuat dan diperbanyak di pantai barat Sumatera dan selatan Jawa karena prediksi kita dari sini lah aliran kapal perang akan bermulai ketika konflik besar di Laut Cina Selatan pecah. Jelas kita masih kurang dalam soal kuantitas dan kualitas KRI striking force semacam korvet dan fregat. Maka untuk mengisi alutsista di 14 pangkalan itu tentu harus diperbanyak korvet dan fregat atau bahkan destroyer, tidak sekedar memperbanyak KCR.
Pangkalan AL Tarakan misalnya, dia punya tugas berat untuk mengamankan wilayah Ambalat. Maka ketersediaan minimal 3 korvet, 2 fregat dan 4 kapal patroli dengan dukungan 1 flight jet tempur merupakan menu wajib yang harus ada sepanjang tahun disana. Sudah siapkah, atau masih tetap Surabaya centris atau Makassar centris yang jarak tempuhnya cukup panjang. Pengalaman selama 8 bulan ini menunjukkan jika kita lengah atau kurangi patroli maka tetangga sebelah itu curi-curi kesempatan, berlagak gagah dan jaguh.
Membangunkuatkan angkatan laut dan udara membutuhkan dana besar, itulah konsekuensi kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Maka percepatan pembangunkuatkan itu multak harus ada. Kemenhan sebagai pengambil keputusan strategis tidak perlu melontarkan statemen di wilayah abu-abu tetapi jelas harus statemen merah putih. Misalnya ungkapan tidak perlu Wamenhan mestinya dengan mengedepankan argumen yang obyektif. Menjaga dan mewibawakan merah putih tentu dengan berkonsentrasi penuh terhadap pemenuhan kebutuhan asupan gizi alutsista TNI dengan program yang terang benderang.
Purnomo, Menhan sipil periode yang lalu, mampu membangkitkan semangat beralutsista dengan pernyataan-pernyataannya yang lugas, terang benderang meski kadang tidak selalu harus pas. Misalnya pernyataan kebutuhan 10 skuadron Sukhoi alias 180 pesawat, padahal maksudnya 10 skuadron jet tempur berbagai jenis. Atau pernyataan gegap gempitanya tentang rencana akuisisi 10 kapal selam kilo dari Rusia ternyata hanya untuk mengecoh Australia agar segera memutuskan membeli Poseidon.
Isian garasi tentu harus segera diisi. Jangan sampai seperti Biak, ketika semua sudah tersedia apakah itu kualitas pangkalan, paskhas TNI AU, satuan Radar, markas Kosek tetapi skuadron tempur inap dan menetap yang diinginkan belum hadir sampai saat ini. Belum ada skuadron tempur rawat inap disana. Yang ada flight rawat jalan, sesekali berkunjung sekalian merawat jalan landasan dan kesiapan infrastruktur.
Kita menginginkan kekuatan laut yang sepadan dengan luasnya wilayah perairan. Maka pengembangan 3 armada tempur laut, 3 divisi pasukan marinir sebagai bagian dari persebaran kekuatan angkatan laut harus disertai dengan percepatan pemenuhan kebutuhan kapal perang, kapal selam dan alutsista pendukung. Tiga armada laut itu minimal harus diperkuat dengan 170 KRI berbagai jenis dengan teknologi terkini dan berusia tiga puluh tahun kebawah termasuk minimal 12 kapal selam.
Dengan kekuatan 170 KRI dan 12 kapal selam maka dipastikan isian garasi untuk 14 pangkalan AL terpenuhi. Sebenarnya kebutuhan 170 KRI itu sudah kita penuhi saat ini tetapi jika melihat masa pakai KRI itu lebih sepertiganya sudah berusia diatas 30 tahun. Untuk urusan kapal selam mulai akhir tahun depan kita mendapatkan 1 kapal selam baru dari Korsel. Dan seterusnya setiap tahun kita akan mendapatkan 1 kapal selam baru apalagi jika infrastruktur pabrik kapal selam PT PAL selesai tahun depan maka produksi kapal selam minimal 1 unit per tahun terpenuhi.
Garasi demi garasi yang dibuat saat ini dimaksudkan sebagai rumah pertahanan alutsista. Kita berharap isian perabot didalamnya dapat terpenuhi dalam waktu dekat karena gelagat cuaca di kawasan ini tidak selalu baik untuk keamanan dan kenyamanan berteritori. Gengsi berteritori adalah ketika kita mampu menunjukkan kehadiran alutsista berteknologi di sempadan sekalian untuk menunjukkan pada pihak sana bahwa kita siap berkelahi. ****
Jagarin Pane / 22 Agustus 2015
Dengan tambahan itu berarti saat ini angkatan laut Indonesia memiliki 14 pangkalan utama TNI AL yang harus mampu memberikan dukungan logistik dan amunisi alias bekal ulang untuk berbagai kapal perang termasuk ketersediaan alutsista pertahanan pangkalan dari serangan pihak lawan. Yang jelas bukan sekedar menampung jenjang karir laksamana pertama yang menjadi komandannya. Seperti kita ketahui pangkalan utama AL harus dijaga 1 batalyon pasukan marinir berikut sejumlah alutsita anti serangan udara dan anti serangan bawah air.
Membuat garasi adalah bagian dari mengelola infrastruktur agar kendaraan yang diparkir tuan rumah aman, nyaman dan terpelihara. Demikian juga dengan pembangunan infrastruktur militer dengan maksud untuk memperkuat logistik dan kecepatan reaksi militer. Bisa dibayangkan jika terjadi sebuah krisis militer di pulau Sebatik dan Ambalat jika masih harus mendatangkan kapal perang dari Makassar dan Surabaya berapa lama waktu tempuh untuk sampai di tujuan. Maka dilihat dari sisi ini tujuan peningkatan pangkalan AL itu tepat waktu.
Pertanyaannya adalah apakah sudah sepadan sebaran alutsista KRI di 14 Lantamal itu. Pangkalan utama AL Surabaya dalam pandangan kita harus mampu membagi beban persebaran alutsista matra laut. Sangat berbahaya jika hanya menumpuk alutsista di satu titik. Sebuah serangan udara mematikan yang tak terlacak radar dipastikan akan melumpuhkan angkatan laut Indonesia manakala Surabaya di hujani peluru kendali udara darat dan bom-bom pintar dari sebuah kekuatan yang punya senjata itu.
Pangkalan AL di Belawan, Padang, Tanjung Pinang sangat pantas diberikan korvet bukan sekedar LST. Aliran patroli juga diperkuat dan diperbanyak di pantai barat Sumatera dan selatan Jawa karena prediksi kita dari sini lah aliran kapal perang akan bermulai ketika konflik besar di Laut Cina Selatan pecah. Jelas kita masih kurang dalam soal kuantitas dan kualitas KRI striking force semacam korvet dan fregat. Maka untuk mengisi alutsista di 14 pangkalan itu tentu harus diperbanyak korvet dan fregat atau bahkan destroyer, tidak sekedar memperbanyak KCR.
Pangkalan AL Tarakan misalnya, dia punya tugas berat untuk mengamankan wilayah Ambalat. Maka ketersediaan minimal 3 korvet, 2 fregat dan 4 kapal patroli dengan dukungan 1 flight jet tempur merupakan menu wajib yang harus ada sepanjang tahun disana. Sudah siapkah, atau masih tetap Surabaya centris atau Makassar centris yang jarak tempuhnya cukup panjang. Pengalaman selama 8 bulan ini menunjukkan jika kita lengah atau kurangi patroli maka tetangga sebelah itu curi-curi kesempatan, berlagak gagah dan jaguh.
Membangunkuatkan angkatan laut dan udara membutuhkan dana besar, itulah konsekuensi kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Maka percepatan pembangunkuatkan itu multak harus ada. Kemenhan sebagai pengambil keputusan strategis tidak perlu melontarkan statemen di wilayah abu-abu tetapi jelas harus statemen merah putih. Misalnya ungkapan tidak perlu Wamenhan mestinya dengan mengedepankan argumen yang obyektif. Menjaga dan mewibawakan merah putih tentu dengan berkonsentrasi penuh terhadap pemenuhan kebutuhan asupan gizi alutsista TNI dengan program yang terang benderang.
Purnomo, Menhan sipil periode yang lalu, mampu membangkitkan semangat beralutsista dengan pernyataan-pernyataannya yang lugas, terang benderang meski kadang tidak selalu harus pas. Misalnya pernyataan kebutuhan 10 skuadron Sukhoi alias 180 pesawat, padahal maksudnya 10 skuadron jet tempur berbagai jenis. Atau pernyataan gegap gempitanya tentang rencana akuisisi 10 kapal selam kilo dari Rusia ternyata hanya untuk mengecoh Australia agar segera memutuskan membeli Poseidon.
Isian garasi tentu harus segera diisi. Jangan sampai seperti Biak, ketika semua sudah tersedia apakah itu kualitas pangkalan, paskhas TNI AU, satuan Radar, markas Kosek tetapi skuadron tempur inap dan menetap yang diinginkan belum hadir sampai saat ini. Belum ada skuadron tempur rawat inap disana. Yang ada flight rawat jalan, sesekali berkunjung sekalian merawat jalan landasan dan kesiapan infrastruktur.
Kita menginginkan kekuatan laut yang sepadan dengan luasnya wilayah perairan. Maka pengembangan 3 armada tempur laut, 3 divisi pasukan marinir sebagai bagian dari persebaran kekuatan angkatan laut harus disertai dengan percepatan pemenuhan kebutuhan kapal perang, kapal selam dan alutsista pendukung. Tiga armada laut itu minimal harus diperkuat dengan 170 KRI berbagai jenis dengan teknologi terkini dan berusia tiga puluh tahun kebawah termasuk minimal 12 kapal selam.
Dengan kekuatan 170 KRI dan 12 kapal selam maka dipastikan isian garasi untuk 14 pangkalan AL terpenuhi. Sebenarnya kebutuhan 170 KRI itu sudah kita penuhi saat ini tetapi jika melihat masa pakai KRI itu lebih sepertiganya sudah berusia diatas 30 tahun. Untuk urusan kapal selam mulai akhir tahun depan kita mendapatkan 1 kapal selam baru dari Korsel. Dan seterusnya setiap tahun kita akan mendapatkan 1 kapal selam baru apalagi jika infrastruktur pabrik kapal selam PT PAL selesai tahun depan maka produksi kapal selam minimal 1 unit per tahun terpenuhi.
Garasi demi garasi yang dibuat saat ini dimaksudkan sebagai rumah pertahanan alutsista. Kita berharap isian perabot didalamnya dapat terpenuhi dalam waktu dekat karena gelagat cuaca di kawasan ini tidak selalu baik untuk keamanan dan kenyamanan berteritori. Gengsi berteritori adalah ketika kita mampu menunjukkan kehadiran alutsista berteknologi di sempadan sekalian untuk menunjukkan pada pihak sana bahwa kita siap berkelahi. ****
Jagarin Pane / 22 Agustus 2015
0 komentar:
Post a Comment