JAKARTA-(IDB) : Penolakan
Komisi I DPR RI atas rencana pemerintah yang akan membeli 100 unit
main battle tank (MBT) Leopard 2 dari Jerman, disinyalir karena tidak
adanya 'manfaat' yang diterima oleh penghuni gedung parlemen Indonesia.
Kepada itoday, Kamis (5/7), pengamat pertahanan Muradi mengatakan, ada dua perspektif kemungkinan mengapa DPR menolak pembelian tersebut.
“Pertama, masalah penguatan alutsista sudah ditegaskan oleh Komisi I sejak tahun lalu, dengan adanya empat program prioritas, salah satunya adalah pengadaan alutsista untuk pengamanan perbatasan. Dalam konteks itu, seharusnya DPR tidak mempersulit, “ jelasnya.
“Kedua, dalam konteks kegunaan, penggunaan MBT memang ada perdebatan. Disatu sisi Indonesia butuh MBT walau spesifikasinya tidak cukup pas untuk konteks Indonesia, tapi untuk membeli dari yang lain, Indonesia tidak memiliki analisa yang mendalam untuk menentukan tank apa yang dibutuhkan, “ sambungnya.
Dari dua perspektif yang diungkapkannya, Muradi melihat DPR tidak terlalu konsisten dengan apa yang mereka sarankan kepada Kemenhan mengenai empat program prioritas pertahanan.
“Dari perspektif itu, saya menduga lebih kepada ikonsistensi DPR, dan pada akhirnya susah jika bicara hitam putih, ada wilayah abu-abu yang saya anggap DPR tidak transparan, “ katanya.
Pengamat yang juga dosen FISIP Universitas Padjajaran, Bandung ini juga mengungkapkan, di 2011, DPR selalu bicara tentang empat program pertahanan yang salah satunya adalah pembelian alutsista. Tetapi ketika ada pengadaan dan lain-lain, mungkin karena merasa tidak dilibatkan, maka dimentahkan kembali..
“Ini masalah inkonsistensinya DPR. Karena mungkin diduga DPR tidak menerima 'sesuatu' dari pengadaan tank ini. Jadi pada akhirnya, upaya mementahkan menjadi suatu cara untuk membuat citra buruk kepada Indonesia dalam pengadaan alutsista, “ ungkapnya.
Selain masalah inkonsistensi DPR, Muradi juga meyakini terlalu banyak broker dan jumlah fee yang yang membuat mekanisme pengadaan berjalan tidak sesuai dengan rencana dan peruntukan.
Kepada itoday, Kamis (5/7), pengamat pertahanan Muradi mengatakan, ada dua perspektif kemungkinan mengapa DPR menolak pembelian tersebut.
“Pertama, masalah penguatan alutsista sudah ditegaskan oleh Komisi I sejak tahun lalu, dengan adanya empat program prioritas, salah satunya adalah pengadaan alutsista untuk pengamanan perbatasan. Dalam konteks itu, seharusnya DPR tidak mempersulit, “ jelasnya.
“Kedua, dalam konteks kegunaan, penggunaan MBT memang ada perdebatan. Disatu sisi Indonesia butuh MBT walau spesifikasinya tidak cukup pas untuk konteks Indonesia, tapi untuk membeli dari yang lain, Indonesia tidak memiliki analisa yang mendalam untuk menentukan tank apa yang dibutuhkan, “ sambungnya.
Dari dua perspektif yang diungkapkannya, Muradi melihat DPR tidak terlalu konsisten dengan apa yang mereka sarankan kepada Kemenhan mengenai empat program prioritas pertahanan.
“Dari perspektif itu, saya menduga lebih kepada ikonsistensi DPR, dan pada akhirnya susah jika bicara hitam putih, ada wilayah abu-abu yang saya anggap DPR tidak transparan, “ katanya.
Pengamat yang juga dosen FISIP Universitas Padjajaran, Bandung ini juga mengungkapkan, di 2011, DPR selalu bicara tentang empat program pertahanan yang salah satunya adalah pembelian alutsista. Tetapi ketika ada pengadaan dan lain-lain, mungkin karena merasa tidak dilibatkan, maka dimentahkan kembali..
“Ini masalah inkonsistensinya DPR. Karena mungkin diduga DPR tidak menerima 'sesuatu' dari pengadaan tank ini. Jadi pada akhirnya, upaya mementahkan menjadi suatu cara untuk membuat citra buruk kepada Indonesia dalam pengadaan alutsista, “ ungkapnya.
Selain masalah inkonsistensi DPR, Muradi juga meyakini terlalu banyak broker dan jumlah fee yang yang membuat mekanisme pengadaan berjalan tidak sesuai dengan rencana dan peruntukan.
Sumber : Itoday
0 komentar:
Post a Comment