JAKARTA:(DM) - Betapa
terkejutnya saya, ketika membaca sebuah email yang masuk dari sesorang
yang pernah saya kenal dan begitu dekat ketika saya turut aktif dalam
aksi pemuda dan mahasiswa untuk menyuarakan tuntutan reformasi pada 1998
dahulu. Enam belas tahun, waktu yang cukup panjang untuk sebuah
persahabatan.
Kala itu, ketika
kelompok kami memilih untuk tetap berdiam dalam gedung MPR, waktu sudah
menunjukan hampir jam 11 malam. Jakarta yang panas, sudah mulai terasa
dingin. Sekelompok Marinir mendatangi kami. Mereka berseru; Indonesia..! Yang kami sambut dengan pekikan; Merdeka..!
Seseorang yang paling senior kemudian menyapa kami dan menawarkan nasi
bungkus dan teh panas. Meski perut saya tidak terlalu lapar, saya
paksakan untuk menyantapnya agar tidak mengecewakan hati si pemberi.
Kami bersila di atas lantai yang mulai terasa sangat dingin.
Disela-sela
acara makan bersama, kami juga tidak lupa bertukar pikiran tentang
harapan bangsa Indonesia di masa depan. Orang-orang marinir ini ternyata
sangat menguasai tentang hukum, filsafat, ekonomi, seni dan budaya.
Bahkan tak jarang merekalah yang memulai sebuah topik pembicaraan.
Karena pemikiran kita connected, maka tak terasa waktu pun sudah
berangsur menuju pagi. Akhirnya kami disarankan untuk beristirahat
sebelum waktu subuh tiba.
Teman-teman
saya langsung tertidur pulas, tapi sayang, mata ini susah terpejam.
Pikiran saya menerawang kemana-mana, hingga akhirnya lamunan saya
terhenti ketika seseorang menepuk bahu saya. Dia menyodorkan rokok, tapi
saya tolak karena saya bukan perokok. Dia menyampaikan ketertarikannya
pada gaya saya saat berdiskusi tadi. Dia meramalkan bahwa setelah aksi
unjuk rasa berhenti, saya akan menduduki jabatan penting di salah satu
instansi pemerintah. Saya menggeleng, berusaha untuk mengembalikan
ramalannya. Jujur, saya gak pernah bercita-cita jadi pegawai negeri.
Alasannya sangat sederhana, saya tidak punya pigur seorang PNS dalam
keluarga besar kami. Jadi wajar dong jika saya menanggapinya dengan
skeptis. Setelah itu, ia pamit untuk kembali ke pasukan sambil
menyelipkan sehelai kartu nama saat kami bersalaman. Wow..! Ternyata dia
punya posisi yang sangat bagus dalam kesatuan elit marinir kita.
Hubungan kami masih terus berlanjut, meskipun akhirnya saya memutuskan
untuk meninggalkan Indonesia saat aksi unjuk rasa telah menemui titik
ujungnya.
Terima kasih dan selamat
jalan pak ‘S’, semoga selamat sampai di Jakarta, dan berkumpul kembali
bersama keluarga tercinta. Amien..! Jika nanti anda membaca JKGR dan
menemukan topik yang mirip dengan apa yang baru saja kita bincangkan,
maka pastinya sayalah yang memposting artikel itu. Hehehe..! Maaf jika
saya lancang, habis anda keukeuh ngumpetin rahasia KS kita yang
satu itu. Tenang, anggaplah saya sebagai teman yang suka usil. Sesuatu
yang kita sepakati sebagai rahasia, saya akan tetap menjaganya, meskipun
nyawa saya taruhannya.
Baiklah, saya akan teriak, “Yes..! Kita sudah punya KS Kilo Klass..! Terima kasih pak, atas segala ‘hoaxnya’.
Hehehe..! Mulai sekarang saya akan bisa tidur dengan tenang dan penuh
bangga.
Tepat pada 5 April 2014 yang
baru lalu, Kasal Dr. Marsetio telah meresmikan salah satu naval base
paling canggih di Indonesia, yakni di teluk Palu. Beberapa kapal selam
dengan nomor lambung 401 dan 402 yang kita miliki telah menjadi penghuni
sarang hantu laut Indonesia paling dalam. Jalesveva Jayamahe. Kami
bangga menjadi bagian dari NKRI. Apalah artinya angka? Hahaha..! Sebuah
keputusan cerdas yang amat cerdik, dengan membiarkan angka itu tidak
berkembang biak. Kapal selam bukanlah kapal yang dibangun untuk suguhan
mata para military fansboy seperti saya. Identitas sejati sebuah kapal
selam bukanlah terletak pada tulisan angka yang tertera pada dinding
lambung kapal, tetapi ada pada sistem yang tertanam dalam kapal itu.
Alasan nan sederhana tetapi mampu memenuhi prasyarat logika.
Tahun
ini, kita akan kedatangan begitu banyak alutsista canggih, yang bahkan
saya sendiri tidak yakin bahwa barang itu akan bisa terpublish semuanya.
Gak apa-apa, cukup telinga ini saja yang mendengarnya. Senang, tenang
dan bangga luar biasa. Salah satu alutsista canggih yang paling gak
sabar saya tunggu adalah fregate Bung Tomo Class atau Usman Harun.
Sebelumnya, jujur saya agak khawatir dengan kemampuan kapal canggih ini.
Namun sekarang kerisauan hati saya itu, musnah sudah. Isu instabilitas
dan lemahnya sistem senjata, ternyata tidak separah yang kita kira.
Kapal
ini bukanlah kapal sembarangan. Jika diibaratkan dengan mobil, maka
kapal ini bukan sekedar mobil sedan, namun lebih dari itu, KRI Bung Tomo
Class adalah sebuah kapal sekelas mobil sport Ferari atau Lamborghini,
meskipun bukan sekelas mobil Bugati Veyron. Keengganan sang produsen
untuk menciptakan fregate sekelas mobil Bugati Veyron, adalah alasan
utama mengapa sang Sultan ingin melego kapal ini. Adalah US Navy yang
tidak menghendaki kapal ini menyamai kemampuan kapal mereka. Sang Sultan
murka, namun beruntung masih mampu mengambil sebuah keputusan dengan
baik dan under control. Dia tawarkan barang itu pada Malaysia
dan Vietnam, yang notabene adalah dua negara Asean yang sedang
berkonflik di LCS, dengan harga sebesar total biaya yang telah
dikeluarkan oleh sang Sultan untuk mengakuisisi barang itu. Selain
harganya yang tergolong sangat mahal. Protes keberatan datang dari US
dan Britain, karena mereka khawatir bahwa konflik LCS akan berubah
menjadi sebuah arena pertempuran terbuka.
Kita
tahu bahwa Malaysia dan Vietnam sama-sama sedang meningkatkan kemampuan
sarana tempur lautnya di wilayah LCS. Pembelian Gowind class menjadi
sebuah keputusan politis dan populis yang paling akhir. Mengapa TLDM menolak Sigma dan Meko? Alasannya adalah karena TLDM ingin menyelaraskan
system yang ditawarkan Thales Perancis terhadap armada tempurnya dimasa
yang akan datang. TLDM ingin total membangun sebuah armada perang
lautnya dengan berkiblat pada Perancis. Selain itu, DCNS juga menawarkan
sebuah status dan prestise bagi Malaysia sebagai user Gowind Class yang
pertama, dan memberikan kesempatan pada perusahaan galangan kapal
Malaysia untuk membangun Gowind Class yang memiliki DWT lebih besar dari
Meko Class yang sudah ada dan juga lebih besar dari Sigma Class yang
dipesan oleh TNI AL. Selain itu hangar helicopternya juga dirancang
untuk mampu memuat UAV, RMN Super Lynx Mk300s, Fennec AS555s dan RMAF
EC725 Cougars. Dan sebagaimana ukurannya yang lebih besar, kapal ini
juga dikengkapi dengan VLS 16 cells.
Kembali
pada kapal perang Bung Tomo Class. Mulai saat ini, marilah kita
berhenti mempertanyakan kinerja intelejen kita. Karena nyatanya kapal
ini bisa menjadi bagian dari TNI AL juga tak terlepas dari peran
intelejen kita. Brunei adalah negara kecil di Asia Tenggara yang sangat
diandalkan oleh militer US. Selain memiliki kondisi alam tropis yang
sangat baik untuk dijadikan media latihan tentara US, Brunei juga
merupakan salah satu sapi perahan Amerika. Tak sedikit perang yang
dilakoni Amerika, mendapatkan sumber dana dari Brunei. Dalam peta militer US, Singapore dan Australia adalah pusat penempatan fasilitas
perang mereka, sedangkan Philipine sebagai pusat pemukiman tentara dan
Brunei menjadi wilayah refueling semua armada tempur US. Ketika
Philipine memilih untuk beraliansi dengan Vietnam dalam menghadapi claim
China di kepulauan Spratly, sejatinya Malaysia sudah mencoba mengajak
Brunei untuk turut bergabung dengan armada tempurnya dengan dalih untuk
menjaga stabilitas kawasan.
Selama
ini, tentara Brunei memang telah biasa tergabung dalam militer Malaysia
dalam setiap misi perdamaian di bawah naungan PBB. Namun kali ini,
Brunei dengan tegas menolak, dengan alasan bahwa PBB belum turun tangan.
Jika Brunei bersedia bergabung bersama Malaysia, maka Malaysia akan
meminta kompensasi kapal Ragam Class tersebut untuk turut menjaga wilayah yang dipersengketakan. Untuk menjaga hubungan baik yang telah
terjalin lama dengan Malaysia, maka Brunei memilih untuk melepas kapal
ini pada Indonesia, yang di mata Brunei terlihat begitu netral, dan..!
Konon pihak Brunei sangat sadar bahwa hanya Indonesia yang bisa
menghadapi China. Karena itu pihak Brunei sangat menginginkan militer
Indonesia lebih kuat. Selain itu juga, jika kapal tersebut menjadi milik
Indonesia, gak akan ada tetangga yang berani macam-macam atas keputusan
yang diambil sang Sultan.
Keyakinan
Sultan sehingga menjadi seperti ini, tak lain adalah berkat peran
intelejen, bukan peran dari seorang broker, apalagi pedagang kaki lima.
Kali ini memori saya terbawa kembali pada kemampuan diplomasi pak ‘S’
ini, saat kami menikmati nasi bungkus di gedung DPR/MPR. Jangan-jangan,
pak S inilah yang telah berhasil mempengaruhi para pejabat militer dan
kesultanan Brunei. Semoga..! (by: yayan@indocuisine/Kuala Lumpur, 15 April 2014).
0 komentar:
Post a Comment