Berita Pertahanan dan Keamanan, Industri Militer Indonesia dan Dunia, Wilayah Kedaulatan NKRI serta Militer Negara Sahabat

03 March 2016

Jet Tempur IFX Indonesia, untuk Efek Gentar

8:26 AM Posted by Unknown No comments
Jakarta:(DM) – The most broken up nation in the world. Itulah salah satu julukan Soekarno untuk Indonesia. Dengan 14 ribu lebih pulau berserak dan panjang garis pantai 99 ribu kilometer, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia yang secara maritim berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Palau, dan Australia.
“Indonesia merupakan negara besar dengan daratan dan lautan begitu luasnya. Tentu harus punya kemampuan laut dan udara yang andal. Harus,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu usai menyaksikan penandatanganan kontrak kerja sama pembuatan protipe pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) antara Indonesia dan Korea Selatan di Jakarta, 7 Januari.
Kekuatan mumpuni di laut dan udara sebagai negara maritim itu menjadi salah satu alasan pemerintah Republik Indonesia mendukung proyek pengembangan jet tempur siluman (stealth fighter) KF-X/IF-X yang diinisiasi Korea Selatan.
Ada 1.001 alasan dukungan Indonesia atas KF-X/IF-X. Lima di antaranya untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI Angkatan Udara, membangun kemandirian bangsa, meningkatkan industri pertahanan, mendorong perekonomian nasional, dan memunculkan efek gentar pada kawasan.
Bukan rahasia lagi wilayah udara dan perairan Indonesia yang luas kerap diterobos oleh pesawat dan kapal asing. Maka jika Indonesia telah menguasai teknologi pengembangan dan upgrading pesawat tempur, kedaulatan RI diharapkan lebih terjaga.
“Ini (memiliki teknologi pesawat tempur) jelas detterent effect buat negara-negara tetangga Indonesia, bahwa Indonesia sudah mampu mengembangkan dan upgrading pesawat tempur yang state of the art secara teknologi. Artinya, nanti (semua pesawat tempur milik Indonesia) akan memakai teknologi yang selalu terbarukan,” kata Kepala Program KF-X/IF-X PT Dirgantara Indonesia Heri Yansyah, dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
Menguasai teknologi jet tempur, tegas Heri, tak berhubungan dengan niat menyerang. “Ini bukan soal menyerang, tapi membuat negara-negara lain berpikir kalau mau bermaksud buruk kepada Indonesia. Itu targetnya.”
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI Anne Kusmayati menyatakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) telah menetapkan tujuh program nasional untuk membangun kemandirian industri pertahanan.
Ketujuh program nasional itu ialah pengembangan jet tempur KF-X/IF-X, pembangunan kapal selam, pembangunan industri propelan, pengembangan roket, pengembangan rudal, pengembangan radar, dan pengembangan tank sedang serta berat.
KKIP sendiri merupakan komite yang mewakili pemerintah RI untuk mengoordikasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan. KKIP diketuai langsung oleh Presiden.
KKIP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2013 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui KKIP, Indonesia hendak membangun pertahanan negara yang kuat, maju, dan mandiri melalui dukungan industri pertahanan dalam negeri yang tangguh.
ifx
Wakil Ketua KKIP Eris Herryanto mengatakan Indonesia bercita-cita dapat memenuhi alutsista secara mandiri karena, antara lain, punya pengalaman buruk diembargo 10 tahun oleh Amerika Serikat.
“Dari 1995 sampai 2005, Indonesia diembargo oleh Amerika. Sepuluh tahun diembargo, kerusakannya sangat besar terhadap kekuatan tempur Indonesia. Kesiapan Indonesia merosot tajam karena tidak boleh beli suku cadang dan segala macam,” ujar mantan penerbang TNI Angkatan Udara itu.
Pada periode itu, AS tidak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari negeri itu. AS juga menyetop penjualan senjata ke Indonesia.
AS saat itu menerapkan embargo militer dengan alasan Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991 ketika sejumlah demonstran ditembaki tentara Indonesia.
“Puncak embargo 26 Desember 2004 saat tsunami menghantam Aceh. Mestinya TNI membantu masyarakat Aceh, tapi saat itu hanya ada satu pesawat Hercules yang siap. Walau ada pesawat lainnya, tapi tidak siap karena dampak dari embargo itu,” kata Eris.
Pengalaman pahit itu, menurut Eris, menjadi salah satu landasan pemikiran bahwa Indonesia di masa depan harus punya peralatan yang bisa didukung oleh negara ini sendiri, tak tergantung pada pihak asing. “Intinya, mandiri.”
Kemandirian industri pertahanan, kata Eris, juga dapat mendorong perekonomian nasional secara signifikan, sebab produksi alutsista akan menyerap tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Penjualan alutsista akhirnya menjadi sumber pemasukan bagi negara.
“Kalau kita lihat Amerika, 60 persen lebih ekonominya didukung oleh industri pertahanan,” ujar mantan Panglima Komando Pertahanan Nasional RI itu.
Indonesia, kata Eris, saat ini pun mulai menggerakkan industri pertahanannya. “Indonesia sudah menjual ke Filipina kapal SSV (strategic sealift vessel) yang diluncurkan 18 Januari kemarin. Kapal hasil kerja BUMN (PT PAL Indonesia) itu diekspor. Ekonomi negara jadi terbantu dari PT PAL.”
Ini kali pertama Indonesia mengekspor kapal perang. Satu unit kapal SSV buatan PT PAL dihargai US$45 juta. Kapal yang terdiri dari 621 kamar itu bisa melaju dengan kecepatan 16 knot, mampu berlayar tanpa mengisi bahan bakar selama tiga hari, dan dilengkapi meriam sesuai pesanan Filipina.
Berbekal visi mandiri itu, Indonesia melihat tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan pesawat tempur sebagai kesempatan bagus.
“Indonesia bayar 20 persen dari total biaya yang dibutuhkan, tapi bisa dapat 90 persen teknologi,” kata Direktur Utama PTDI Budi Santoso.
Ada perbedaan misi Indonesia dan Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur. “Korea Selatan tentu berpikir soal (konfliknya dengan) Korea Utara, Indonesia beda lagi,” kata Budi.
Tujuan utama Indonesia ialah agar dapat melakukan upgrading atau peningkatan teknologi pada seluruh pesawat yang dimiliki TNI. Dengan demikian, semua armada udara Indonesia akan selalu menggunakan teknologi terbarukan.
“Sebab meski mesin dan struktur badan pesawat bisa bertahan sampai 20-40 tahun, sistem elektroniknya mesti di-upgrade ini dan itu,” ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.
Beda motivasi Indonesia dan Korea Selatan ditambah perbedaan kondisi lapangan kedua negara, membuat dua belah pihak perlu waktu cukup panjang untuk menyamakan persepsi hingga berujung pada penandatanganan kontrak tahap kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pembuatan prototipe pesawat.
“Ini titik awal kerja sama ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan. Saya bertanggung jawab penuh dan optimistis proyek ini akan sukses,” kata Kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan, Chang Myoung-jin, sesaat setelah meneken kontrak kerja sama dengan Indonesia di Jakarta.

0 komentar:

Post a Comment