Vladivostok,
kota yang terletak di wilayah paling Timur Rusia (dahulu Uni Sovyet)
memiliki peran penting dalam sejarah dunia modern. Sebab di kota itulah
pada 1987, pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev menyampaikan pidato
bersejarahnya.
Saat
itu Gorbachev menyerukan Uni Soviet perlu ataupun akan melakukan
penataan kembali (perestroika) dan keterbukaan (glasnost). Pidato itu
merupakan sebuah otokritik Gorbachev terhadap konsep pembangunan atas
negaranya sekaligus pesan kepada dunia tentang kemana perubahan yang
bakal dituju negara itu.
Pembangunan
di Uni Soviet perlu penataan kembali, sebab dengan sistem komunisme
yang sudah lebih dari setengah abad dipraktekkan, tidak bisa membuat
negara itu mampu bersaing dengan negara-negara Barat. Komunisme justru
menyebabkan stagnasi.
Kemiskinan
di negara yang luasnya membentang dari Eropa ke Asia Timur dengan 7
zone perbedaan waktu itu, merupakan sebuah contoh buruk. Antrean
penduduk untuk membeli roti misalnya, terjadi di berbagai kota besar.
Bukti bahwa kemiskinan yang disebabkan oleh komunisme, sangat ril di Uni Sovyet.
Keterbukaan
yang lebih bermakna demokratisasi, diperlukan. Karena sistem tertutup
ala komunisme, hanya melahirkan kegagalan sebuah negara. Dampaknya,
keseluruhan legasi Uni Soviet sebagai negara terluas dan terbesar di dunia, pun tergerus. Keraksasaan Uni Soviet dalam bentuk terluas
wilayahnya di dunia dan jumlah penduduknya ketiga terbesar di dunia pada
waktu itu, semu belaka.
Setelah
pidato Gorbachev itu perubahan secara signifikan di Uni Soviet terjadi
dengan cepat. Namun harganya terlalu mahal. Negara komunis kedua
terbesar di dunia, setelah RRC itu pada 1991, ambruk. Uni Soviet terpecah menjadi : Armenia, Azerbeijan, Belarusia, Estonia, Georgia,
Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Tajikistan,
Turkmenistan, Ukrainia, Uzbekhistan dan Rusia.
Rusia
kemudian menjadi semacam pengganti Uni Soviet, tetapi dengan ideologi
non komunis. Moskow selaku ibukota Uni Soviet tetap menjadi ibukota
Rusia. Terbentuknya Rusia diikuti oleh perubahan sistem pemerintahan.
Rusia pun mengadopsi sistem dan pola negara-negara kapitalis di Eropa
Barat dan Amerika Serikat.
Tokoh
Rusia yang menjadi katalisator dari sistem baru ini adalah Vladimir
Putin. Bekas anggota KGB (agen rahasia Rusia) itu, berhasil menyulap
negara tersebut menjadi negara yang sejahtera. Tahun ini di bawah
pimpinan Putin, Vladivostok menjadi tuan rumah KTT APEC.
Penetapan
Vladivostok selaku tuan rumah, terjadi di era Presiden Dmitry Medvedev.
Tetapi Medvedev adalah Putin juga. Sehingga penetapan Vladivostok
sebagai tuan rumah KTT APEC tidak lepas dari visi Putin. Penetapan itu
tidak sekadar sebuah formalitas protokoler belaka tetapi karena Rusia
dengan Putinomics-nya, sudah memutuskan akan mengggeser kegiatan
perekonomian, industri dan perdagangannya ke Asia Timur dan Pasifik dari
kota Vladivostok.
Mengapa
? Karena diyakini, kawas`n ini jauh lebih menjanjikan dibandingkan
Eropa. Terlebih lagi setelah Eropa dan negara-negara pecahan bekas Uni
Soviet gagal bangkit sebagai kekuatan baru.
Vladivostok
yang diarahkan sebagai sentra kegiatan bisnis, ekonomi dan perdagangan,
akan dibangun menjadi sebuah kota modern dengan berbagai fasilitas dan
infratruktur yang setara dengan kota-kota modern di Jepang, Korea
Selatan, RRC dan Taiwan. Vladivostok akan menjadi semacam Moskow Kedua,
kota kebanggaan baru bangsa Rusia.
Ada
27 negara di Eropa berkaukus dalam Uni Eropa. Namun ternyata kaukus itu
tidak mampu mengimbangi kekuatan ekonomi Rusia. Padahal Rusia, sebagai
bagian dari Eropa, merupakan negara industri sukses yang perlu mitra setara.
Kemajuan
dan percepatan pembangunan Uni Eropa secara retorika telah gagal. Jadi
Putin atau Rusia harus mencari alternatif baru. Inilah yang membuat
Moskow melakukan perubahan kebijakan yaitu menggeser kegiatan ekonominya
ke kawasan Asia Pasifik.
Pergeseran
ini otomatis akan mengubah portofolio Asia Pasifik termasuk Rusia
sendiri. Pergeseran ini akan membuat agresivitas Rusia di kawasan Asia
Paisifik bakal dirasakan mengganggu.
Rusia
berstatus pendatang baru di Asia Pasifik. Status inilah yang bakal
membuat Amerika Serikat beresistensi. Kehadiran Rusia dan Amerika
Serikat membuat persaingan di kawasan Asia Pasifik menjadi lebih ketat.
Sebab bersamaan dengan kebijakan Moskow itu, Washington pun telah
memutuskan kembali aktif di Asia Pasifik, kawasan yang sempat
diabaikannya.
Dengan
begitu kawasan Asia Pasifik akan menjadi wilayah pertarungan baru.
Kalau bukan antara raksasa ekonomi dunia seperti Jepang dan RRC, yah,
antara Rusia dan Amerika Serikat.
Persaingan
ekonomi antar negara itu bagaimanapun, pada akhirnya akan melibatkan
kekuatan militer. Sebab yang mengawal keamanan dan aktivitas ekonomi
tersebut adalah kekuatan militer. Sehingga yang menjadi kekhawatiran
adalah persaingan ekonomi ditambah oleh persaingan militer.
Perkiraan
selanjutnya bakal sulit mencegah terjadinya persinggungan militer.
Selanjutnya bila persinggungan itu terjadi, kemungkinan kawasan Asia
Pasifik bakal menjadi wilayah yang panas. Yang Jadi pertanyaan, mampukah
negara-negara di kawasan Asia Pasifik mencegah atau menghindari
pecahnya konflik yang berujung pada peperangan ?
Masuknya
Rusia dan Amerika Serikat di Asia Pasifik pada momen yang bersamaan,
mengingatkan persaingan serupa di Timur Tengah. Yang membedakan jika di
Timur Tengah persaingan dipicu oleh perebutan minyak bumi dan ideologi,
maka di Asia Pasifik oleh sumber daya alam yang tidak terbatas. Selain
itu masih ada pasar dan konsumen yang berjumlah lebih dari 2 milyar
manusia.
Maka
kekhawatiran seperti yang terjadi di Timur Tengah itulah yang paling
diperhitungkan. Kekhawatiran ini patut diangkat ke permukaan. Berhubung
dua negara adidaya , Rusia dan Amerika Serikat belakangan ini mulai
memperlihatkan ego dan superioritas mereka, mirip dengan cara
masing-masing di era Perang Dingin.
Vladimir
Putin, tidak lama setelah dilantik sebagai Presiden, langsung
menyatakan dia tidak akan hadir di KTT G-8 bulan ini di Camp David,
Amerika Serikat. Pernyataan ini kemudian dibalas Presiden AS Barack
Obama bahwa ia tidak akan hadir di KTT APEC yang diselenggarakan di
Vladivostok.
Ketidak
hadiran kedua tokoh itu di forum kerja sama patut ditafsirkan sebagai
awal dari pecahnya sebuah kerja sama. G-8 tidak akan pecah sekalipun
disana tinggal 7 negara : AS, Kanada, Jepang, Italy, Prancis, Jerman dan
Inggris. Tapi pasifnya Rusia yang berada di bawah pemerintahan Putin,
jelas menciptakan ketidakharmonisan.
Sebab
7 negara inilah yang "melamar" Rusia bergabung saat Rusia sedang
dipimpin Boris Yeltsin. Tujuh negara itulah yang menyatakan ingin
bekerja sama dalam Kelompok Negara-Negara Industri.
Ketidakhadiran
Putin mendegradasi kualitas kerja sama di G-8. Sedangkan absennya Obama
mendegradasi bobot APEC. Padahal kedua negara dibutuhkan sebagai
pemberi bobot dan perekat kerja sama. Adanya kerja sama itulah
sebetulnya yang dapat mencegah munculnya persinggungan dan peperangan.
Sebagai
negara yang berada di Asia Pasifik, Indonesia berkepentingan agar
kawasan ini tidak ada peperangan. Yang diperlukan kehidupan damai dan
saling bersahabat. Semoga saja.
Sumber :web.inilah.com
0 komentar:
Post a Comment