Yonif 712 / Wiratama
jangan membayangkan operasi pemulihan keamanan di Aceh seperti perang antara Amerika Serikat dan Irak yang merupakan perang konvensional. Operasi di Aceh ini adalah pertempuran melawan gerilya yang sporadis, yang tidak terduga kapan terjadinya. Biasanya pertempuran berlangsung jika pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memukul pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dihadang oleh gerilyawan GAM dalam suatu patroli.
Salah satu kisah pertempuran yang cukup berkesan di hati
prajurit TNI adalah perebutan sebuah jembatan yang melintasi Krueng
(Sungai) Tingkeum di Desa Darul Aman, Kecamatan Peusangan, Kabupaten
Bireuen, sekitar 50 kilometer ke arah barat Kota Lhok Seumawe, Rabu
(21/5). Daerah tersebut dikenal sebagai basis pertahanan GAM. Wilayah
itu menjadi tanggung jawab Detasemen Pemukul (Denkul) 1 Batalyon
712 / Wiratama Manado, Sulawesi Utara, pimpinan Letkol Hipdizar.
Namun,
sayangnya wartawan tidak berkesempatan meliput langsung jalannya
pertempuran tersebut. Meskipun demikian, perebutan jembatan itu terus
menjadi bahan cerita para prajurit selama dua hari wartawan berada di
Markas Denkul 1 di Desa Matanggeulumpang, Peusangan.
"Coba kalau
wartawan datang kemarin, bisa langsung melihat langsung. Itu pertempuran
terbesar sejak kami enam bulan bertugas di sini," tutur Hipdizar hari
Kamis lalu.
Jembatan di Desa Darul Aman itu panjangnya sekitar 500 meter dan berkonstruksi baja. Jembatan itu sangat strategis untuk
menuju ke pedalaman Bireuen termasuk ke Desa Pante Raya yang merupakan
basis GAM. Di tempat tersebut pernah dirayakan milad ke-26 GAM pada 22
Desember 2002. Oleh karena itu, perebutan jembatan menjadi penting bagi
TNI untuk dapat menembus pertahanan GAM.
Jembatan tersebut sudah
sejak beberapa hari sebelumnya diincar TNI untuk direbut. Namun, tampaknya GAM juga mati-matian mempertahankan jembatannya. Sejumlah bom
rakitan diletakkan di sekitar penyambung wilayah itu. Selain itu,
sejumlah pohon kelapa pun dirobohkan guna menghalangi orang yang menuju
jembatan tersebut. Sekitar 100 meter ke arah selatan jembatan, jalan
telah digali selebar tiga meter dengan dalam sekitar dua meter.
Untuk
menembus jembatan itu sempat terpikir untuk menggunakan bantuan
helikopter karena begitu gencarnya tembakan dari arah seberang. Namun,
Denkul 1 tetap berusaha menggunakan kekuatan yang ada. Salah satu yang
membuat mereka berhasil menembus jembatan itu adalah penggunaan dua truk Reo yang dilapisi baja antipeluru.
"Truk Reo ini sudah dikenal
ditakuti oleh GAM," ujar Prajurit Kepala Ong Lee, pengemudi salah satu
truk Reo, membanggakan truk yang dikemudikannya. Itu diketahuinya dari
pembicaraan radio panggil handie talkie (HT) GAM yang frekuensinya
ditangkap oleh Denkul 1, di mana GAM membatalkan penghadangan jika truk
Reo ini lewat di basis GAM.
Warna kedua truk milik Komando Daerah
Militer (Kodam) VII/Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini
juga lain dari mobil/truk standar TNI yang bias`nya hijau polos. Warna
dua truk Reo ini loreng hijau, putih, hitam.
Sambil melaju
kencang di jembatan, tembakan melalui senapan mesin SMR yang
dioperasikan Kopral Dua (Kopda) S Mongkow dan Kopda ABD Haris terus
diarahkan ke arah depan. "Selain tembakan, granat-granat yang
dilontarkan dengan grenade launching machine (GLM) meledak di kiri kanan
truk. Tetapi saya terus melaju ke depan," ujar Ong Lee.
Yonif 712 / Wiratama
Tidak
mudah untuk menembus pertahanan GAM itu. "Apalagi SMR saya sempat macet
tiga kali. Buat tentara, hal yang paling mengkhawatirkan adalah jika
senjata macet. Namun, teman saya membantu dengan tembakan senapan mesin
minimi, sambil saya memperbaiki SMR," kata Mongkow. Maklum SMR tersebut
sudah berumur 29 tahun, sedangkan gerilyawan GAM umumnya menggunakan AK-47 versi baru. Pukul 11.00, akhirnya jembatan itu dapat dikuasai dan
TNI membuat pos di rumah-rumah kosong dan sekolah yang dibakar.
Tingkat kesulitan perang gerilya memang lebih tinggi dibanding perang
konvensional. Dalam konteks ini, berbaurnya GAM dengan masyarakat adalah
kesulitan yang mesti dipecahkan. Apalagi di wilayah Denkul 1 itu GAM
telah menarik Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat sehingga antara GAM dan masyarakat sulit diidentifikasi.
Intel GAM yang dikenal sebagai cantoi yang berada di mana-mana-termasuk
duduk-duduk di kedai sekitar pos TNI-juga menyulitkan TNI. "Baru kami
mengikat tali sepatu, mereka sudah tahu kami akan jalan dan menyebarkan
rencana itu melalui HT. Malah kadang orang yang mentraktir di kedai
bertemu di lapangan ketika bertempur," ujar seorang prajurit.
Belum lagi persoalan bahasa karena umumnya masyarakat berkomunikasi
dengan bahasa Aceh. "Kami sudah biasa kalau bertanya ke masyarakat yang
dijawab dengan hana teupu (tidak tahu)," ujar Perwira Seksi Operasi Denkul 1 Lettu Wiryanto. Istilah hana teupu itu sudah menjadi istilah
yang populer di kalangan prajurit.
Lain halnya pertempuran di Desa Lancuk, Kecamatan Jeumpa, Bireuen,
TNI/Polri memang mampu masuk ke wilayah basis-basis GAM, tetapi agak
kesulitan untuk menembaki anggota GAM. Hal yang sama terlihat di Desa
Teupin Jalo, Kecamatan Samalanga. Masalahnya, anggota GAM yang bertempur
tidak begitu melayani ketika TNI/Polri melepaskan tembakan. Kalaupun
GAM melayani serangan TNI/Polri, sifatnya hanya kalau mereka terdesak
untuk membela diri dan sekaligus melarikan diri. Bahkan, anggota GAM
sendiri sudah menggabungkan dirinya dengan warga setempat tanpa
menggunakan atribut seragam militernya.
Tidak jarang keluar dari mulut personel pasukan TNI/Polri bahwa GAM
pengecut karena tidak berani bertempur secara kesatria menunjukkan jati
dirinya. Ketika terjadi pertempuran, biasanya GAM hanya mau melayani sekali-sekali saja. Kalaupun ada serangan balik dari GAM, sifatnya hanya
sebagai serangan psikis. Seolah-olah GAM masih kuat dan berani
bertempur.
Padahal setiap kali TNI/Polri merangsek ke basis-basis pertahanan GAM,
tak ada perlawanan yang berarti. Anggota GAM terlihat justru mundur dan
melarikan diri.
Begitulah kesulitan yang terjadi di lapangan. Entah kapan perang gerilya
itu akan membuahkan hasil di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam.
(BUR/SMN/B03/JOS) sumber: garudamiliter
0 komentar:
Post a Comment