Indonesia terus mengembangkan teknologi kedirgantaraan. Salah satu
yang tengah diteliti adalah teknologi pesawat nirawak. Menteri Riset dan
Teknologi Gusti Muhammad Hatta saat di Yogyakarta, Jumat (5/10),
mengungkapkan pengembangan pesawat nirawak tersebut dinilai sangat
mendesak mendesak karena daerah di Indonesia memiliki banyak gunung
berapi.
Dengan daerah yang luas dan memiliki topografi pegunungan, lanjut dia, banyak wilayah yang sulit dijangkau oleh manusia, terutama untuk melakukan sebuah penelitian. Oleh sebab itu, pesawat nirawak diperlukan. Selain itu, lanjut dia, pembuatan pesawat tanpa awak juga sejalan dengan pengembangan pesawat tempur yang bekerja sama dengan Korea Selatan. "Pesawat ini nantinya juga dapat digunakan oleh Polri," terangnya.
Secara keseluruhan, ia juga mengakui, pengembangan teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista) di Indonesia tertinggal dari negara lain. Menurutnya, hal tersebut terjadi lantaran perusahaan yang ada belum diberi kesempatan. Namun, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan membeli alutsista produk dalam negeri, terlihat perkembangan yang sangat pesat.
Salah satu yang membanggakan, sambung dia, adalah panser Anoa buatan PT Pindad yang antara lain telah dipesan oleh Malaysia. "Itu suatu kemajuan yang cukup pesat bagi industri alutsista di Indonesia," tegasnya.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan pembuatan pesawat Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) secara massal akan diserahkan kepada PT Dirgantara Indonesia (DI). "Tentunya BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) tidak bisa membuat secara massal, nantinya kami akan serahkan pembuatan kepada PT DI," tuturnya di Jakarta, Kamis (11/10)
Purnomo mengatakan itu seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono di Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta meninjau pesawat tanpa awak yang selesai melakukan uji coba.
Pesawat karya asli anak bangsa ini diberi nama PTTA/PUNA (Pesawat Terbang Tanpa Awak atau Pesawat Udara Nir Awak). Presiden yang juga didampingi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono dan Menteri ESDM Jero Wacik langsung melihat PUNA Wulung yang terparkir di pinggir lapangan udara.
"Ini bagus. Saya ucapkan selamat kepada yang membuat, mendesain dan meneliti pesawat ini. "Nanti kalau (dana pengembangan PUNA) masih kurang, di-on top-kan (diprioritaskan)," ucap Presiden setelah mendengarkan presentasi langsung Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar.
Purnomo menegaskan pengembangan akan dilakukan dengan segera karena sudah ada persetujuan Presiden. "Akan dibentuk skuadron PUNA, pesawat udara nir awak, jadi kita sudah putuskan pagi, untuk proyeksi pengoperasiannya di perbatasan. Ini karya Indonesia. Dan Bapak Presiden sudah mendukung tadi," ujarnya.
Menurutnya, tim akan mulai fokus pada pengembangan spefikasi teknis pesawat tersebut, sehingga tidak perlu untuk melakukan demonstrasi lagi. "Sudah diputuskan ini sudah saya bilang pagi ini, (ke depan) nggak usah ada demonstrasi lagi, jalan sekarang langsung ke engineering manufacturing Development," ujarnya.
Menurut Purnomo, pembuatan sebuah skuadron Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk menjaga kedaulatan RI di wilayah perbatasan.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui pembuatan sebuah skuadron Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk menjaga kedaulatan RI di wilayah perbatasan. Tahap awal akan dibuat lima pesawat yang akan dibuat ilmuwan dalam negeri.
Setibanya di Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, dari Yogyakarta, Kamis (11/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono langsung meninjau pesawat tanpa awak yang selesai melakukan uji coba.
Pesawat karya asli anak bangsa ini diberi nama PTTA/PUNA (Pesawat Terbang Tanpa Awak atau Pesawat Udara Nir Awak). Presiden yang didampingi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono dan Menteri ESDM Jero Wacik langsung melihat PUNA Wulung yang terparkir di pinggir lapangan udara. "Sudah diuji terbang?" tanya Presiden kepada Kepala BPPT, Marzan Aziz Iskandar yang tengah memberikan penjelasannya.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang juga berada di lokasi terlebih dahulu menjelaskan kepada Presiden, bahwa PUNA ini akan menjadi salah satu kekuatan pertahanan udara untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. "Ini bagus. Saya ucapkan selamat kepada yang membuat, mendesain dan meneliti pesawat ini," puji Presiden.
Presiden juga sempat menanyakan apakah masih cukup dana pengembangan PUNA ini. Marzan pun mengungkapkan dananya masih cukup. "Nanti kalau masih kurang, di-on top-kan (diprioritaskan)," ucap Presiden.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Aziz Iskandar mengatakan lima pesawat tanpa awak yang akan dibuat ilmuwan dalam negeri diprediksi menghabiskan dana sekitar Rp6 miliar.Marzan menyebut angka tersebut tidak mahal. Ia membandingkan dengan harga pesawat pengintai yang pernah hendak dibeli dari Israel. Harga empat pesawat tanpa awak tersebut senilai US$16 juta.
"Tahun depan kita sudah rencanakan akan merealisasikan satu skuadron ini. Fungsinya ini untuk pengintaian, penginderaan dari udara jadi menggunakan kamera, dia bisa mengambil video dari kondisi di darat dan udara dan mengirimnya secara langsung ke stasiun pengamat di darat secara real time," tuturnya di Jakarta, Kamis (11/10). Ia sebelumnya memberikan presentasi langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Setelah meninjau pesawat tanpa awak yang selesai melakukan uji coba, Kepala Negara menyetujui pembuatan sebuah skuadron Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk menjaga kedaulatan RI di wilayah perbatasan. Tahap awal akan dibuat lima pesawat yang akan dibuat ilmuwan dalam negeri. Marzan menambahkan, dari lima pesawat prototype yang dibuat BPPT dengan menghabiskan dana riset sekitar Rp10 miliar, hanya satu yang diuji coba terbang di bandara Halim.
Pesawat yang diberi nama Wulung ini merupakan hasil pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertahanan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), bekerja sama dengan Unnamed Combat Ariel Vechicle (UCAV). Pagi tadi, PTTA Wulung telah melakukan demo terbang di Pangkalan Udara TNI-AU Halim.
PTTA Wulung dapat dipergunakan untuk kepentingan militer dalam pengamatan wilayah. Bahkan fungsinya dapat menggantikan pesawat tempur UCAV (Unnamed Combat Ariel Vechicle). Selain itu, pesawat tersebut juga dapat digunakan untuk kepentingan sipil, seperti penanganan kebakaran hutan dan pembuatan hujan buatan.
Pesawat terbang tanpa awak ini memiliki spesifikasi bentangan sayap 6,36 meter, panjang 4.32 meter, tinggi 1.32 meter, serta berat 120 Kg. Puna Wulung memakai mesin 2 tak. Untuk mendapatkan tenaga yang optimal, bahan bakar dipilih dari jenis pertamax. Bahan material pesawat ini menggunakan komposit (komposisi serat kaca, fiber, karbon). Sehingga mendapatkan struktur pesawat yang ringan.
Pesawat mampu terbang selama 4 jam tanpa henti. Jarak tempuh yang maksimalnya 70 kilometer, dengan kecepatan jelajah 52 hingga 69 knot. Puna Wulung bisa dikendalikan dengan jarak 73 kilometer dari remote control. Puna Wulung mampu terbang hingga ketinggian 12 ribu kaki, namun yang sudah diujikan setinggi 8.000 kaki.
(IRIB Indonesia/Micom)
Dengan daerah yang luas dan memiliki topografi pegunungan, lanjut dia, banyak wilayah yang sulit dijangkau oleh manusia, terutama untuk melakukan sebuah penelitian. Oleh sebab itu, pesawat nirawak diperlukan. Selain itu, lanjut dia, pembuatan pesawat tanpa awak juga sejalan dengan pengembangan pesawat tempur yang bekerja sama dengan Korea Selatan. "Pesawat ini nantinya juga dapat digunakan oleh Polri," terangnya.
Secara keseluruhan, ia juga mengakui, pengembangan teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista) di Indonesia tertinggal dari negara lain. Menurutnya, hal tersebut terjadi lantaran perusahaan yang ada belum diberi kesempatan. Namun, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan membeli alutsista produk dalam negeri, terlihat perkembangan yang sangat pesat.
Salah satu yang membanggakan, sambung dia, adalah panser Anoa buatan PT Pindad yang antara lain telah dipesan oleh Malaysia. "Itu suatu kemajuan yang cukup pesat bagi industri alutsista di Indonesia," tegasnya.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan pembuatan pesawat Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) secara massal akan diserahkan kepada PT Dirgantara Indonesia (DI). "Tentunya BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) tidak bisa membuat secara massal, nantinya kami akan serahkan pembuatan kepada PT DI," tuturnya di Jakarta, Kamis (11/10)
Purnomo mengatakan itu seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono di Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta meninjau pesawat tanpa awak yang selesai melakukan uji coba.
Pesawat karya asli anak bangsa ini diberi nama PTTA/PUNA (Pesawat Terbang Tanpa Awak atau Pesawat Udara Nir Awak). Presiden yang juga didampingi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono dan Menteri ESDM Jero Wacik langsung melihat PUNA Wulung yang terparkir di pinggir lapangan udara.
"Ini bagus. Saya ucapkan selamat kepada yang membuat, mendesain dan meneliti pesawat ini. "Nanti kalau (dana pengembangan PUNA) masih kurang, di-on top-kan (diprioritaskan)," ucap Presiden setelah mendengarkan presentasi langsung Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar.
Purnomo menegaskan pengembangan akan dilakukan dengan segera karena sudah ada persetujuan Presiden. "Akan dibentuk skuadron PUNA, pesawat udara nir awak, jadi kita sudah putuskan pagi, untuk proyeksi pengoperasiannya di perbatasan. Ini karya Indonesia. Dan Bapak Presiden sudah mendukung tadi," ujarnya.
Menurutnya, tim akan mulai fokus pada pengembangan spefikasi teknis pesawat tersebut, sehingga tidak perlu untuk melakukan demonstrasi lagi. "Sudah diputuskan ini sudah saya bilang pagi ini, (ke depan) nggak usah ada demonstrasi lagi, jalan sekarang langsung ke engineering manufacturing Development," ujarnya.
Menurut Purnomo, pembuatan sebuah skuadron Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk menjaga kedaulatan RI di wilayah perbatasan.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui pembuatan sebuah skuadron Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk menjaga kedaulatan RI di wilayah perbatasan. Tahap awal akan dibuat lima pesawat yang akan dibuat ilmuwan dalam negeri.
Setibanya di Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, dari Yogyakarta, Kamis (11/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono langsung meninjau pesawat tanpa awak yang selesai melakukan uji coba.
Pesawat karya asli anak bangsa ini diberi nama PTTA/PUNA (Pesawat Terbang Tanpa Awak atau Pesawat Udara Nir Awak). Presiden yang didampingi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono dan Menteri ESDM Jero Wacik langsung melihat PUNA Wulung yang terparkir di pinggir lapangan udara. "Sudah diuji terbang?" tanya Presiden kepada Kepala BPPT, Marzan Aziz Iskandar yang tengah memberikan penjelasannya.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang juga berada di lokasi terlebih dahulu menjelaskan kepada Presiden, bahwa PUNA ini akan menjadi salah satu kekuatan pertahanan udara untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. "Ini bagus. Saya ucapkan selamat kepada yang membuat, mendesain dan meneliti pesawat ini," puji Presiden.
Presiden juga sempat menanyakan apakah masih cukup dana pengembangan PUNA ini. Marzan pun mengungkapkan dananya masih cukup. "Nanti kalau masih kurang, di-on top-kan (diprioritaskan)," ucap Presiden.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Aziz Iskandar mengatakan lima pesawat tanpa awak yang akan dibuat ilmuwan dalam negeri diprediksi menghabiskan dana sekitar Rp6 miliar.Marzan menyebut angka tersebut tidak mahal. Ia membandingkan dengan harga pesawat pengintai yang pernah hendak dibeli dari Israel. Harga empat pesawat tanpa awak tersebut senilai US$16 juta.
"Tahun depan kita sudah rencanakan akan merealisasikan satu skuadron ini. Fungsinya ini untuk pengintaian, penginderaan dari udara jadi menggunakan kamera, dia bisa mengambil video dari kondisi di darat dan udara dan mengirimnya secara langsung ke stasiun pengamat di darat secara real time," tuturnya di Jakarta, Kamis (11/10). Ia sebelumnya memberikan presentasi langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Setelah meninjau pesawat tanpa awak yang selesai melakukan uji coba, Kepala Negara menyetujui pembuatan sebuah skuadron Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk menjaga kedaulatan RI di wilayah perbatasan. Tahap awal akan dibuat lima pesawat yang akan dibuat ilmuwan dalam negeri. Marzan menambahkan, dari lima pesawat prototype yang dibuat BPPT dengan menghabiskan dana riset sekitar Rp10 miliar, hanya satu yang diuji coba terbang di bandara Halim.
Pesawat yang diberi nama Wulung ini merupakan hasil pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertahanan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), bekerja sama dengan Unnamed Combat Ariel Vechicle (UCAV). Pagi tadi, PTTA Wulung telah melakukan demo terbang di Pangkalan Udara TNI-AU Halim.
PTTA Wulung dapat dipergunakan untuk kepentingan militer dalam pengamatan wilayah. Bahkan fungsinya dapat menggantikan pesawat tempur UCAV (Unnamed Combat Ariel Vechicle). Selain itu, pesawat tersebut juga dapat digunakan untuk kepentingan sipil, seperti penanganan kebakaran hutan dan pembuatan hujan buatan.
Pesawat terbang tanpa awak ini memiliki spesifikasi bentangan sayap 6,36 meter, panjang 4.32 meter, tinggi 1.32 meter, serta berat 120 Kg. Puna Wulung memakai mesin 2 tak. Untuk mendapatkan tenaga yang optimal, bahan bakar dipilih dari jenis pertamax. Bahan material pesawat ini menggunakan komposit (komposisi serat kaca, fiber, karbon). Sehingga mendapatkan struktur pesawat yang ringan.
Pesawat mampu terbang selama 4 jam tanpa henti. Jarak tempuh yang maksimalnya 70 kilometer, dengan kecepatan jelajah 52 hingga 69 knot. Puna Wulung bisa dikendalikan dengan jarak 73 kilometer dari remote control. Puna Wulung mampu terbang hingga ketinggian 12 ribu kaki, namun yang sudah diujikan setinggi 8.000 kaki.
(IRIB Indonesia/Micom)
0 komentar:
Post a Comment