Helikopter tempur Apache |
Kerjasama
keamanan Indonesia dan AS menciptakan terobosan baru. Washington
menawarkan Jakarta untuk membeli sejumlah unit helikopter tempur Apache,
yang tidak lagi mereka pakai. Langkah AS ini terkait dengan kebijakan
Indonesia yang tengah meremajakan alat utama sistem persenjataan
(alutsista).
Menurut kantor berita Reuters, rencana
penjualan itu dikemukakan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton,
kepada Menlu RI Marty Natalegawa di Washington DC pada Kamis siang waktu
setempat (Jumat pagi WIB). Kedua menteri bertemu untuk pertemuan kali
ketiga Komisi Bersama AS-Indonesia, yang membahas perkembangan kemitraan
komprehensif bilateral.
Kepada wartawan, Menlu Clinton
mengatakan bahwa Kongres telah diberitahu perihal rencana pemerintahnya
menjual helikopter tempur Apache ke Indonesia. "Persetujuan ini akan
memperkuat kemitraan komprehensif dan membantu meningkatkan keamanan di
kawasan," kata Clinton.
Menurut dia, dengan ingin
menjual helikopter Apache, AS berkepentingan memperkuat pertahanan
Indonesia. Pasalnya, menurut Clinton, AS kini memandang Indonesia
sebagai "pijakan bagi stabilitas di kawasan Asia Pasifik."
Tahun
lalu, AS pun mengumumkan hibah 24 unit jet tempur F-16 ke Indonesia.
Dua lusin jet tempur itu tidak lagi digunakan oleh militer AS, walau
harus mengalami pemutakhiran teknologi dan yang biayanya harus
ditanggung Indonesia.
Di bawah pemerintahan Barack
Obama, AS saat ini tengah mempererat kerjasama pertahanan dengan
Indonesia. Ini sejalan dengan perubahan strategi keamanan AS, yang mulai
berfokus ke Asia Pasifik setelah terlibat perang di Irak dan
Afganistan.
AS juga telah meningkatkan kerjasama
militer dengan sekutu-sekutu tradisionalnya di Asia Pasifik, seperti Filipina dan Australia. Manuver-manuver Washington di kawasan ini pun -
walau berkali-kali dibantah oleh para pejabat AS, mengundang perhatian
serius dari China, karena dianggap sebagai upaya membendung pengaruh dan
ancaman Beijing.
Terkait pernyataan Clinton soal
penguatan kerjasama kedua negara, Menlu Natalegawa menegaskan bahwa
hubungan erat antara Indonesia dan AS kini dampaknya tidak lagi sebatas
lingkup bilateral. "Kedua negara kini telah menempuh hubungan yang
sangat dekat dalam suasana yang sangat produktif dan saling
menguntungkan, yang tidak hanya dirasakan di tingkat bilateral, namun
juga meningkat ke lingkup regional," kata Natalegawa, dalam jumpa pers
yang transkripnya dimuat di laman Deplu AS.
Helikopter Apache |
Menurut
Menlu Clinton, Apache yang ditawarkan AS adalah seri AH-64D seri
Longbow. Dibuat oleh Boeing, AH-64 Apache merupakan helikopter andalan
Angkatan Darat AS untuk operasi tempur terbatas. Menggantikan helikopter
AH-1 Cobra, Apache mulai digunakan Angkatan Darat AS pada April 1986.
Menurut
data dari Boeing.com, Apache seri AH-64D Longbow mulai dipakai Angkatan
Darat AS pada Maret 1997. Selain AS, kini militer dari sejumlah negara
sudah menggunakannya, yaitu Mesir, Yunani, Israel, Jepang, Kuwait,
Belanda, Arab Saudi, Singapura, Uni Emirat Arab, dan Inggris.
Dibanding
dari seri pendahulunya, AH-64D Longbow ini memiliki sejumlah kelebihan
dalam konektivitas digital, sensor, sistem persenjataan, peralatan
pelatihan, dan sistem dukungan pemeliharaan.
Helikopter
yang dikendalikan dua awak ini juga dilengkapi teknologi presisi yang
lebih baik dari seri awal. Pengembangan mesin dan navigasinya membuat
helikopter tempur ini bisa terbang lebih lama dan lebih lincah
bermanuver.
Keunggulan utama seri D dari versi
sebelumnya adalah kemampuan helikopter itu dalam menggunakan rudal-rudal
Longbow Hellfire, yang dipandu radar. Seri AH-64D ini pun dilengkapi
dengan radar FCR, yang membuat helikopter itu bisa mendeteksi dan
menyerang target di tengah hujan, kabut, atau asap. Kemampuan ini tidak
dimiliki model AH-64A.
Apache AH-64D ini dalam beberapa
tahun terakhir mengalami pengembangan varian. Menurut
army-technology.com, varian Apache Block II mulai digunakan Angkatan
Darat AS pada 2003. Varian ini dilengkapi sistem komunikasi digital yang
lebih baik.
Selain itu, Angkatan Darat AS sejak
Oktober 2010 memulai pengembangan varian baru, yaitu Block III. Pada
tahap ini AH-64 D mengalami pemutakhiran pada sensor televisi bercahaya
rendah (LLTV), yang bisa memantau cahaya lampu jalan dan suar. Block III
ini mulai dipasok sejak November 2011, demikian ungkap Flight
International.
Namun, demi peremajaan helikopter tempur
baru, Angkatan Darat AS sudah menargetkan pembelian terakhir Apache
Longbow pada 2010. Menurut laporan dari Kantor Anggaran Kongres AS pada
November 2007, harga satu unit Apache AH-64D ini sekitar US$ 18 juta,
atau kini kurang lebih Rp 171,8 miliar. Harga itu sudah termasuk
pemasangan radar FCR.
Hingga berita ini dimuat,
pemerintah AS belum memaparkan kepada publik harga Apache yang
ditawarkan ke Indonesia. Selain itu belum ada tanggapan resmi dari
delegasi Indonesia atas tawaran itu, termasuk bagaimana pengaturan jual
belinya bila memang disetujui.
Helikopter Apache Longbow |
Namun
tawaran Apache dari Amerika ini sudah mengundang pro dan kontra. Ada
pejabat yang mendukung, namun ada pula yang mengkritisi.
Seorang
pejabat Kementerian Pertahanan menyambut baik rencana Amerika Serikat
untuk menjual helikopter tempur Apache AH-64/D kepada Indonesia. "Benar,
mereka menawarkan. Tapi itu baru komitmen mereka. Helikopter itu
sendiri bagus, kita tertarik," ujar juru bicara Kementerian Pertahanan,
Brigadir Jenderal Hartind Asrin kepada VIVAnews, Jumat 21 September
2012.
Menurut Hartind, saat ini belum ada tindak lanjut
dari Indonesia terkait rencana AS tersebut. "Kita masih
mempertimbangkan. Karena belum bicara mengenai harga. Baru komitmen
mereka," ucapnya.
Tapi yang pasti, kata Hartind,
Indonesia tidak akan membeli jika harga delapan unit helikopter Apache
itu terlalu mahal. "Kalau harganya pas, jadilah kita beli. Karena itu
helikopter yang bagus," lanjut Hartind.
Namun, dia
menilai bahwa Apache yang ditawarkan Amerika itu kemungkinan bekas
pakai. Jadi, kondisinya masih harus diteliti. "Tentunya, sebelum dibeli,
tim kami akan terlebih dulu melihat kondisi helikopternya. Apakah
kondisinya masih bagus atau tidak," Hartind menambahkan.
Sebaliknya,
anggota DPR dari Komisi I, Mahfudz Siddiq, mengkritisi tawaran Amerika
itu. Menurut dia, lebih baik Indonesia membeli helikopter multifungsi
yang lebih berguna, yaitu CH-47 Chinook, ketimbang helikopter tempur.
Chinook
dikenal sebagai helikopter angkut, baik untuk personel maupun logistik.
"Komisi I tahun lalu pernah mengusulkan ke Kementerian Pertahanan untuk
membeli Chinook dari Amerika Serikat dengan skema MFS (military foreign
sales)," ujar Mahfudz.
Bagi dia, kegunaan heli Chinook
sangat multifungsi, terutama untuk membantu operasi penanggulangan
bencana. "Apache memang diperlukan sebagai heli serbu, namun lebih
prioritas Chinook. Syukur kalau pemerintah Amerika Serikat bisa tawarkan
keduanya," kata dia.
Namun, bagi Mahfudz, pembelian
Apache juga diperlukan untuk mengimbangi negara-negara lain, seperti
Singapura. "Namun akan lebih efektif jika diprioritaskan Chinook atau
dilakukan secara bersamaan," tegasnya.
Meski rencana
pembelian heli tempur sudah ramai diperbincangkan, Mahfudz belum
mengetahui lebih detil soal realisasi. Sebab, kata politisi Partai
Keadilan Sejahtera ini, sampai saat ini belum ada anggaran untuk
pembelian Apache. "Termasuk juga dalam rencana anggaran 2013," kata dia.
(sj)
Helikopter tempur Apache |
Politikus
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga wakil ketua Komisi
Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Tubagus Hasanuddin, mempertanyakan
rencana pemerintah membeli heli serang Apache.
Menurut
mayor jenderal purnawirawan itu, rencana pembelian itu tak ada dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 atau pun Rancangan
APBN 2013.
"Rencana pemerintah Indonesia untuk membeli
pesawat heli serang Apache benar-benar mengejutkan," kata Hasanuddin di
Jakarta, Sabtu 22 September 2012.
Tahun ini, Hasanuddin
melanjutkan, memang berencana untuk membeli 8 heli serang seharga US$ 90
juta dan 16 heli serbu senilai US$ 170 juta. "Kedua jenis pesawat itu
akan dibeli dari PT Dirgantara Indonesia dan sudah dilakukan kontrak,"
kata Hasanuddin.
Jika pemerintah kemudian memutuskan
membeli heli Apache tanpa senjata seharga US$ 40 juta, untuk
mempersenjatainya lagi membutuhkan US$ 20 juta per unit. Total, menurut
Hasanuddin, dibutuhkan US$ 600 juta untuk 10 unit.
Karena
itu, Hasanuddin meminta rencana pembelian Apache dipikirkan lagi.
"Pemerintah sebaiknya konsisten dengan rencana yang dibuatnya," kata
Hasanuddin.
Helikopter
yang dikendalikan dua awak ini juga dilengkapi teknologi presisi yang
lebih baik dari seri awal. Pengembangan mesin dan navigasinya membuat
helikopter tempur ini bisa terbang lebih lama dan lincah bermanuver.(art)
Jakarta - Bulan Februari lalu, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin kepada wartawan usai menghadiri Workshop Enhancing defence Cooperation on Public Affairs dengan Kemhan AS di Kemhan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (9/2/2012) lalu mengungkapkan rencana pemerintah membeli sejumlah helikopter serang Apache dari Amerika Serikat (AS) untuk menambah kekuatan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista).
"Pemerintah berminat membeli Apache sebanyak delapan unit," ujar Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Sjafrie menjelaskan, pengadaan delapan unit helikopter serang jenis Apache itu merupakan rencana pembelian yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan Sjafrie juga menegaskan bahwa heli tersebut tidak ditawarkan pihak AS namun Indonesia yang mencari.
"Mereka (AS) tidak menawarkan, kami yang mencari," jelas Sjafrie.
Saat itu, Sjafrie mengutarakan, belum ada deal antara pemerintah Indonesia dengan AS terkait pembelian helikopter tersebut. Sementara yang sudah disepakati adalah pembelian pesawat tempur jenis F16 dari Amerika Serikat.
0 komentar:
Post a Comment